BAB
I
PENDAHULUAN
I.1 LATAR
BELAKANG
Adanya kehidupan yang modern
menyebabkan tatanan kehidupan juga mengalami perubahan dari waktu ke waktu.
Segala aktivitas manusia saling mempengaruhi serta mempunyai kesinambungan
antara realitas sosial, budaya, dan komunikasi. Proses interaksi yang terus
berlangsung hingga akhir zaman akan membentuk pola masyarakat yang begitu
kompleks dan mempengaruhi peradaban zaman. Keterkaitan antara realitas sosial
dan bahasa adalah suatu indikator yang tidak terpisahkan dan mempunyai hubungan
sebab-akibat yang menciptakan sebuah budaya oleh suatu masyarakat.
I.2 RUMUSAN
MASALAH
Adanya pola interaksi melaui proses
komunikasi yang membentuk suatu realitas sosial yang semakin berkembang pada
masyarakat terdapat beberapa permasalahan yang akan dikaji, yaitu :
1. Bagaimana
hubungan komunikasi dan konstruksi sosial tentang realitas?
2. Bagaimana
pendekatan ‘rules’ dalam kajian komunikasi?
3. Apa
teori yang dipakai dalam pendekatan ‘rules’?
4. Bagaimana
keterkaitaan antara bahasa, budaya, dan komunikasi?
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Hubungan Komunikasi dan Konstruksi Sosial Realita
Manusia memiliki pemahaman tentang suatu realitas
sosial berdasarkan pengalaman yang telah mereka tempuh. Komunikasi sendiri juga
mempengaruhi pola konstruksi sosial di dalam masyaraakat. Menurut Kenneth
Gergen gerakan konstruksional memusatkan perhatiannya pada proses dimana para
individu menanggapi kejadian di sekitarnya berdasarkan pengalaman mereka. Ada
beberapa asumsi yang mendasari pemikiran Gergen tersebut, yaitu:
- Suatu kejadian (realitas) tidak hadir dengan sendirinya secara objektif, tetapi diketahui atau dipahami melalui pengalaman yang dipengaruhi oleh bahasa.
- Realitas dipahami melalui kategori-kategori bahasa secara situasional yang tumbuh dari interaksi sosial di dalam suatu kelompok sosial pada saat dan tempat tertentu.
- Bagaimana suatu realitas dapat dipahami, ditentukan oleh konvensi-konvensi komunikasi yang dilakukan pada saat itu. Oleh karenanya, stabil tidaknya pengetahuan lebih tergantung pada variasi kehidupan sosial daripada realitas objektif di luar pengalaman.
- Pemahaman-pemahaman terhadap realitas yang tersusun secara sosial membentuk banyak aspek-aspek penting lain dari kehidupan. Bagaimana kita berpikir dan berperilaku dalam kehidupan sehari-hari pada dasarnya merupakan persoalan bagaimana kita memahami realitas kita.[1]
Aspek yang sangat penting adalah mampu mengenali
diri (self) agar hubungan komunikasi dengan orang lain bisa berjalan dengan
lancer. Berikut ini adalah dua teori yang menenkankan pada peranan komunikasi
dalam ‘self-definition’.
Pertama
mengenai kehidupan sosial dan personal.
Setiap individu harus mampu dalam berfikir tentang
realitas yang ada disekitarnya. Seperti teori yang dikemukakan oleh Harre dan
Paul Secord tentang “ethogeny’, yaitu
studi tentang bagaimana orang memahami tindakan mereka di dalam suatu peristiwa
(episode) tertentu. Diri (self) juga
disusun dari teori personal, yaitu bahwa individu belajar untuk memahami
dirinya sendiri melalui satu atau sekelompok teori yang mengkonsepsikan
siapakah diri individu tersebut.[2]
Kepribadian dalam suatu budaya diekspresikan dalam
suatu komunikasi. Dimana diri memegang peranan yang sangat penting dalam
mengendalikan suatu realitas sosial.
Konsep
diri terdiri dari seperangkat unsur yang dapat dilihat dalam 3 bagian, yaitu:
- ‘Display’
- Realisasi atau sumber
- ‘Agency’
Meskipun semua manusia memiliki teori yang berbeda
dalam dirinya sendiri, namun teori mengenai diri memiliki elemen yang sama.
Pertama, semuanya mengandung suatu kesadaran diri (self-consciousness). Kedua, ‘agency’
yang mengacu pada kekuatan yang menggerakkan seseorang untuk melakukan sesuatu.
Ketiga, ‘autobiography’ atau
identitas sebagai seseorang yang memiliki sejarah dan masa depan.
Kedua
mengenai social accountability (pertanggungjawaban
sosial). Manusia harus memberikan penjelasan, bukan hanya atas
tindakan-tindakannya, tetapi juga mengenai dirinya sendiri untuk melindungi
otonominya.
2.2
Pendekatan ‘Rules’ dalam Kajian Komunikasi
‘Rules’ adalah suatu mekanisme di mana
perilaku sosial diorganisasi. Rules bersifat kontekstual yang mana mampu
menjelaskan mengapa orang bertindak sama pada satu waktu, dan berbeda pada
suatu kondisi yang lain. Berikut ini adalah sifat-sifat umum dari pendekaatan ‘rules’ yang dikemukakan oleh Barnett
Pearce, yaitu:
- Pendekatan ‘rule-following’
- Pendekatan ‘rule-governed’
- Pendeekaatan ‘rule-using’
Dalam pendekatan ‘rules’ sendiri juga memiliki kajian yang spesifik. Pertama,
filsafat bahasa sehari-hari (ordinary
language philosophy) yang dicetuskan oleh filsafat dari Jerman bernama
Ludwig Wittgenstein. Bahasa yang berdiri sendiri jarang memiliki makna, maka
dalam kehidupan sehari-hari perlu adanya aturan-aturan dalam penggunaanya.
Bahasa yang digunakan sehari-hari merupakan suatu permainan bahasa (language game). Kedua, teori tindak
ujaran (speech acts) yang merupakan
karya dari Wittgenstein dan Austin yang dikembangkan oleh John Searle. Tindak
ujaran merupakan satuan terkecil dari bahasa untuk mengekspresikan makna, suatu
perkataan yang mengekspresikan suatu tujuan.[3]
Salah satu karakteristik dari tindak ujaran adalah bahwa komunikan mampu
memahami maksud dari tujuan yang dibawa oleh komunikator. Searle membagi tindak
ujaran menjadi empat bentuk, yaitu:
- Pengucapan yang merupakan pengucapan kata-kata termasuk intonsinya.
- Proposisi yang mengacu pada gaya bicara.
- ‘Illocutionary act’ yang ditujukan untuk memenuhi tujuan dengan menggunakan tindak ujaran untuk mengundang atau membangkitkan tanggapan.
- ‘Perlocutionary act’ yang ditujukan untuk menghasilkan efek atau konsekuensi pada perilaku orang lain.
Berbahasa
merupakan aturan yang sangat penting yang terlibat dalam suatu perilaku
berdasar pada aturan-aturan (rule-governed).
Dimana terdapat dua aturan yang penting. Pertama, ‘constitutive rules’ yang mencipakan bentuk-bentuk perilaku yang
baru; yaitu tindakan-tindakan yang diciptakan dari penerapan aturan. Kedua, ‘regulative rules’ yang memberikan
petunjuk dalam berperilaku secara umum.
Adapun Searle
mengemukakan lima jenis tindakan illocutionary,
yaitu:
- ‘Assertives’, yaitu pernyataan mengenai suatu proposisi yang mengikat pembicara untuk mengemukakan kebenaran dari proposisinya.
- ‘Directives’, merupakan illocution yang membuat komunikan melakukan ssesuatu.
- ‘Commissives’ yang mengikat komunikator pada tindakan di masa depan.
- ‘Expessives’, yaitu tindakan yang mengkomunikasikan beberapa aspek dari keadaan psikologis pembicara.
- ‘Declaration’, dimaksudkan untuk membuat suatu proposisi yang menegaskan dan diikuti oleh suatu tindakan.
2.3 Teori
‘Rules’ dalam Studi Komunikasi
Realitas adalah suatu konstruksi sosial dan faktor
komunikasi yang berperan penting di dalamnya. Kemudian ada tiga teori penting
yang akan dibahas dalam kajian ‘Rules’,
yaitu mengenai tentang teori ‘rule
governing’ dari Susan Shimanoff, teori ‘contingency
rules’ oleh Mary John Smith, dan ‘coordinated
management of meaning’oleh W. Barnett Pearce dan Vernon Cronen.
Pertama
teori ‘rule governing. Shimanoff
mendefinisikan suatu aturan sebagai “suatu ketentuan yang dapat diikuti/ditaati
yang memberikan indikasi mengenai perilaku mana yang diwajibkan, lebih disukai,
atau dilarang dalam konteks tertentu”.[4]
Asumsi ini mencakup empat unsur sebagai berikut:
- ‘Rules’ harus dapat ditaati/diikuti.
- ‘Rules’ bersifat menentukan.
- ‘Rules’ bersifat kontekstual.
- ‘Rules’ merinci perilaku yang sesuai.
Untuk menguji teori ‘rules’ harus mampu memahami dan mengamati aturan-aturan dalam
interaksi sehari-hari. Karena kebanyakan aturan bersifat implisit, sehingga
hanya bisa disimpulkan dari perilaku para partisipannya.
Kedua,
teori aturan konstingensi (Contingency
Rules). Menerapkan pendekatan penggunaan aturan terhadap situasi-situasi
persuasive (compliance gaining).
Teori ini memiliki tiga asumsi:
- Orang bertindak karena memiliki tujuan tertentu dan tindakannya dipengaruhi oleh perkiraan akan hasil yang didapat.
- Persuasi dikendalikan lebih pada pilihan-pilihan pribadi seseorang daripada pengaruh orang lain.
- Ganjaran dari orang lain hanya berarti dalam konteks tujuan-tujuan dan ukuran-ukuran pribadi seseorang.[5]
Dalam situasi yang persuasi, komunikator memilih
strategi pesan yang persuasif untuk menanggapi pesan-pesan dari komunikan dan
melakukan suatu pilihan di bawah pengaruh aturan-aturan yang berlaku dalam
situasi tersebut. Aturan yang memandu tindakan seseorang terdiri dari dua jenis,
‘self-evaluative’ terkait dengan
nilai-nilai yang berdasar pada konsep diri dan ‘adaptive’ mencakup identitas diri (self-identity) yang memandu ‘self-evaluative’
dengan apa yang diyakini seseorang sebagai karakter pribadinya.
Ketiga,
koordinasi pengelolaan makna (coordinated
management of meaning). Pearce dan Cronen meminjam konsep aturan ‘constiutive’ dan ‘regulative’ dari teori tindak ujaran, dan menempatkannya sebagai
pusat kajian mereka. Dalam (coordinated
management of meaning) CMM, aturan ‘constitutive’
pada dasarnya merupakan aturan-aturan makna (rules of meaning), yang digunakan oleh para partisipan komunikasi
untuk mengartikan atau memahami suatu peristiwa. Aturan ‘regulative’ sesungguhnya merupakan aturan-aturan tindakan (rules of action) yang digunakan untuk
menentukan bagaimana member respons atau berperilaku. Aturan-aturan makna dan
tindakan selalu dipilih dalam suatu konteks.
Pearce dan Cronen memandang konteks
sebagai tingkatan yang terdiri dari empat jenis, yaitu:
- Konteks ‘relationship’ meliputi harapan dari masing-masing pihak/anggota kelompok yang berinteraksi.
- Konteks ‘episode’ menjelaskan suatu kejadian.
- Konteks ‘self-concept’ adalah pemahaman seseorang mengenai diri sendiri.
- Konteks ‘archetype’ adalah suatu citra mengenai kebenaran umum.[6]
Penggambaran yang
dilakukan oleh Pearce dan Cronen terhadap berlangsungnya suatu aturan
dengan membentuk suatu symbol-simbol
yang menunjukkan struktur-struktur aturan sebagai berikut:
=
dalam konteks
= dianggap sebagai
=
jika, maka
Simbol
pertama menunjukkan konteks dari tindakan, kedua berkaitn dengan ‘constitutive rule’, dan ketiga merupakan
‘regulative rule’. Contohnya adalah
sebagai berikut:
|
Ejekan gurauan
|
Konflik
Ejekan menghina
Constitutive rule’:
Ejekan dianggap sebagai penghinaan.
Tindakan-tindakan
yang kompleks dapat pula diamati dengan diagram yang sama. Sistem aturan
menunjukkan adanya suatu kekuatan logika (logical
force) untuk melakukan tindakan tertentu. Ada dua kekuatan logika yang
terjadi dalam komunikasi, yaitu:
1. ‘Prefigurative’ atau kekuatan kausal.
2. Kekuatan
logika ‘practical’.
Orang-orang
yang berkomunikasi dalam suatu pertukaran kebutuhan/keinginan/tujuan, tidak
sama dalam menginterprestasikan peristiwa tersebut, tetapi masing-masing harus
merasa, dari sistem aturan yang ada dalam dirinya, bahwa apa yang terjadi
adalah masuk akal. Ini adalah inti dari suatu koordinasi yang dijelaskan
melalui teori CMM (Coordinate Management
Meaning).
2.4 Teori-teori
Komunikasi tentang Bahasa dan Budaya.
Bahasa
dan budaya merupakan refleksi realitas dari pola-pola komunikasi yang terjadi
di dalam suatu kelompok sosial, masyarakat, atau budaya. Berikut ini adalah dua
kontribusi teoritis terhadap bahasa dan budaya. Pertama adalah relativitas
linguistik oleh Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf. Kedua, etnografi
komunikasi oleh antropolog Dell Hymes.
Pertama,
relativitas linguistik. Manusia tidak hidup sendiri dalam dunia objektif, tidak
pula hidup sendiri dalam dunia aktivitas sosial, tetapi berkat bahasa tertentu
yang telah menjadi medium ekspresi bagi masyarakatnya. Konsep-konsep mengenai
‘waktu’ dan ‘perihal’ tidak diberikan oleh pengalaman dalam bentuk yang sama
secara mendasar bagi semua orang, tetapi tergantung pada sifat bahasa melalui
penggunaan bahasa yang telah dikembangkan.
Kedua,
etnografi adalah semacam studi budaya di mana pengamat dari luar budaya
tersebut berusaha untuk mengartikan perilaku kelompok yang dipelajari. Proses
etnografis adalah suatu tahapan yang bolak-balik antara konsep-konsep orang
yang berada dalam budaya yang disebut “experience-near”
dan konsep-konsep penamat yang disebut “experience-distant”.
Hymes tertarik antara komparasi etnografi mengenai komunikasi menyatakan: “Apa
yang dibutuhkan adalah suatu teori umum dan bentuk pegetahuan yang dapat
mengakomodasi berbagai bentuk ujaran, penyajian, cara-cara berbicara, dan
kombinasi di antara mereka.”[7]
Hymes mengusulkan sembilan konsepsi
dasar yang dapat dimasukkan dalam suatu teori:
1. Cara-cara
berbicara.
2. Gambaran
ideal tentang pembicara yang cakap.
3. Komunitas
ujaran.
4. Situasi
ujaran.
5. Peristiwa
ujaran.
6. Tindak
ujaran.
7. Komponen
tindak ujaran.
8. Aturan-aturan
berbicara di dalam komunitas.
9. Fungsi-fungsi
ujaran dalam komunitas.
BAB
III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Realitas adalah suatu konstruksi sosial,
terbentuk dari adanya ujaran setiap kelompok sosial yang mempengaruhi budayanya
masing-masing serta menciptakan suatu realitas sosial kembali. Realitas sosial
sendiri sebagai suatu hal yang berkaitan dengan suatu aturan-aturan. Dimana
komunikasi untuk menjalin hubungan dan mengkoordinasikan aturan-aturan terhadap
individu lainnya. Seiring dengan berjalannya waktu aturan-aturan dalam
interaksi sosial akan diendapkan dan dijadikan suatu panduan dalam berperilaku.
Dalam interaksi sosial sendiri juga menciptakan suatu budaya yang berkaitan
erat dengan bahasa. Budaya kaya akan bentuk-bentuk ujaran yang nantinya akan
mereflesikan realitas dari suatu budaya tersebut.
3.2 SARAN
·
Dalam setiap
hubungan komunikasi harus selalu memperhatikan bahasa dan budaya kelompok
sosial tersebut agar tercipta suatu koordinasi yang evektif.
·
Komunikator
harus mampu melihat ‘rules’ dalam
setiap hubungan komunikasi antara suatu masyarakat.
·
Pembentukan
realitas sosial harus sejalan dengan bahasa dan budaya yang sesuai dengan
pola-pola komunikasi untuk membentuk realitas kembali.
DAFTAR
PUSTAKA
Djuarsa, Sendjaya S.
Ph.D. dan Drs. Tandiyo Pradekso, MA, Teori
komunikasi,
[1]
Sendjaya, Djuarsa S. Ph. D
dan Drs. Tandiya Pradekso, MA, Teori Komunikasi hal. 323
[2] Ibid, hal. 326 dan 327
[3] Ibid., hal. 336
[4] Ibid,. hal. 343
[5]
Ibid,. hal. 347
[6]
Ibid,. hal. 348-349
[7]
Ibid,. hal.360
Label:
Ilmu Komunikasi
0 komentar: