SEJARAH BERULANG
Indonesia sampai sekarang masih terjajah.
Perbedaan antara tempo doeloe dengan masa sekarang hanyalah dalam bentuk
atau format belaka. Dahulu pendudukan fisik dan militer Belanda menyebabkan
bangsa Indonesia kehilangan kemerdekaan, kemandirian dan kedaulatan politik,
ekonomi, sosial, hukum dan pertahanan. Sedangkan sekarang ini pendudukan fisik
dan militer asing itu secara resmi sudah tidak ada dan tidak kelihatan. Tetapi,
sebagai bangsa kita telah kehilangan kemandirian dan sampai batas yang cukup
jauh, kita juga sudah kehilangan kedaulatan ekonomi. Dalam banyak hal, bangsa Indonesia
tetap tergantung dan menggantungkan diri pada kekuatan asing.
George Santayana, filosof Spanyol
berpendidikan Amerika (1863-1952) pernah memperingatkan bahwa mereka yang gagal
mengambil pelajaran dari sejarah dipastikan akan mengulangi pengalaman sejarah
itu.
Pengamanan yang diberikan kepada Presiden AS
yang d negerinya sendiri sudah tidak populer itu sungguh berlebih dan sekaligus
agak memalukan. Tidak ada negara manapun di dunia yang menyambut Presiden Bush
seperti maharaja diraja, kecuali Indonesia di masa kepemimpinan Susilo B.
Yudhoyono. Seolah Indonesia telah menjadi negara protektorat AS.
GLOBALISASI MAKIN LAYU
Sebuah definisi menyatakan bahwa globalisasi
pada pokoknya berarti proses interkoneksi yang terus meningkat di antara
berbagai masyarakat sehingga kejadian-kejadian yang berlangsung di sebuah
negara mempengaruhi negara dan masyarakat lainnya. Diyakini bahwa kemajuan
teknologi komunikasi, informasi dan transportasi telah memudahkan terjadinya
berbagai transaksi internasional, yang menyangkut arus perdagangan dan
keuangan. Kekuatan-kekuatan pasar dan pusat-pusat keuangan “meledak” menerobos
batas-batas nasional menghempaskan ekonomi bangsa yang tidak siap. Mahathir
mengingatkan bila negara-negara Asia ingin maju, mereka harus mengubah mindset
atau tata-pikir mereka agar benar-benar merdeka dan berdaulat Ideologi
pasar adalah seratus persen mencari profit tanpa ada pertimbangan apa pun juga.
James K. Galbraith berpendapat bahwa
kesenjangan sosial ekonomi di jaman globalisasi adalah sebuah perfect crime
atau kejahatan yang sempurna. Kita masih ingat bagaimana Indonesia tunduk pada
WTO untuk menerima impor paha ayam dari AS sehingga ribuan peternak ayam kita
serentak gulung tikar. Demikian juga Indonesia begitu taatnya membuka diri
tanpa proteksi terhadap impor gula, tekstil, dan berbagai komoditas lain yang
merugikan rakyat Indonesia sendiri. Sikap konyol Indonesia itu jarang
ditandingi oleh negara lain.
Kita masih ingat bagaimana secara faktual
ekonomi Indonesia pernah didikte dan didominasi oleh IMF pasca krisis moneter
yang melanda Indonesia pada akhir 1990-an.
Hampir semua koran dalam dan luar negeri
memuat gambar Pak Harto yang duduk dengan wajah tunduk menandatangani Letter
of Intent (Semacam surat perjanjian yang menyatakan janji-janji Indonesia
pada IMF untuk dilaksanakan), sementara Michael Camdessus, Presiden IMF,
berdiri pongah sambil melipat kedua tangannya di dada menyaksikan
penandatanganan itu.
KRITIK TAJAM DARI DALAM
IMF menunjukkan semacam paternalisme terhadap
negara berkembang dengan gaya khas: “Kami pihak yang sudah mapan paling tahu
bagaimana cara mengelola pasar modal. Kerjakan saja apa yang kami perintahkan.”
Tentu arogansi semacam ini cukup menyakitkan dan menunjukkan bahwa IMF
sesungguhnya mengalami defisit demokrasi.
Yang dilupakan oleh IMF, menurut Stiglitz
adalah bahwa privatisasi terlalu dini tidak pernah memperhitungkan pentingnya
budaya korporatokrasi yang menyertainya, menganggap remeh kesulitan dalam
membangun lembaga yang diperlukan dan juga melupakan bahwa banyak negara yang
tidak atau belum memiliki pemerintahan yang dapat mengatur kompetisi secara
adil.
Menurut Stiglitz, Bank Dunia adalah sebuah
oranisasi yang terus belajar (a learning organization), sedangkan IMF
gagal belajar (learning impaired). Memahami mengapa negara-negara yang
kaya sumber daya alam justru gagal membangun kemakmuran. Pertama, cukup banyak
negara berkembang yang bergantung pada sumber daya alam, lebih dari sepertiga
penghasilan ekspor Afrika berasal dari sumber daya alam. Kedua, karena
kenyataan aneh, negara-negara yang kaya-raya sumber daya alam justru kebanyakan
berpenduduk miskin, maka paradoks ini dapat menguak lebih jelas tentang
kegagalan globalisasi serta sekaligus mencari pemecahan atas masalah penting
ini. Stiglitz memuji India, China dan negara-negara Asia Timur termasuk
Malaysia, yang berhasil membangun ekonomi negara masing-masing tanpa mengikuti
Konsensus Washington dan pada intinya mengambil langkah-langkah globalisasi
secara selektif.
Bagi Indonesia, mengingat praktik pertambangan
selama ini yang begitu menguntungkan korporasi asing dan sangat merugikan
bangsa sendiri, serta telah menghancurkan ekologi Indonesia tanpa ampun, maka
sumber daya alam kita telah menjadi kutukan. Semua itu karena kesalahan dan
kebodohan kita sendiri.
POSISI INDONESIA
Ketika Stiglitz berkunjung ke Indonesia pada
bulan Agustus 2007, ia mengingatkan supaya Indonesia keluar dari kungkungan
pemahaman yang keliru terhadap globalisasi. Selama ini kelemahan kita adalah
“kebodohan” dan “keengecutan” kita sendiri sehingga seluruh mantra globalisasi
seperi difatwakan oleh IMF, Bank Dunia dan WTO kita telan semuanya tanpa daya
dan nalar kritis yang diperlukan.
Jika pemerintah berani, yaitu berani
menegosiasi ulang kontrak karya pertambangan yang merugikan rakyat, Indonesia
akan memperoleh keuntungan jauh lebih besar dibandingkan yang diperoleh para
investor asing. Sudah sangat terlambat kalau masih saja mengabaikan pesan UUD
1945 pasal 33 ayat 3: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
PAX AMERICANA
Akhir Perang Dunia II menyaksikan Amerika
Serikat sebagai negara paling kuat di muka bumi kekuatan ekonomi Amerika tidak
tertandingi, seperti halnya kekuatan nuklirnya. Amerika sampai sekarang tidak
mau menandatangani Kyoto Protocol, padahal sampai akhir Desember 2006
sebanyak 169 negara sudah menandatangani protokol tersebut. Tujuan pokok
protokol itu adalah untuk mencapai stabilisasi konsentrasi gas rumah kaca di
atmosfir pada satu tingkatan tertentu sehingga dapat melindungi sistem iklim
global dari rembesan antropogenik. Mingguan Time menyebutkan Amerika tiba-tiba
menjadi rogue state, negara penipu dan pelanggar hukum internasional
kalau menyangkut Protokol Kyoto.
KORPORATOKRASI
John Perkins, dalam bukunya Confessions of
an Economic Hit Man (2004) yang menggunakannya untuk menunjukkan bahwa
dalam rangka membangun imperium global, maka berbagai korporasi besar, bank,
dan pemerintahan bergabung menyatukan kekuatan finansial dan politiknya untuk
memaksa masyarakat dunia mengikuti kehendak mereka.
Tujuan mutlak korporasi adalah mencari
keuntungan maksimal dengan biaya minimal dan waktu minimal. Kompromi adalah
kata yang harus dihindari, karena kompromi berarti kegagalan. Seperti kata Noam
Chomsky , sekali seorang pemimpin sudah menghempaskan rasa takutnya, berbagai
watak positif segera bermunculan. Cara menguasai internet adalah dengan
menjadikannya bukan lagi sebagai sistem telekomunikasi tetapi sebagai sistem
informasi. Seorang intelektual adalah seorang yang memiliki pengetahuan umum
secara memadai sehingga mampu menangkap fenomena yang tengah berlangsung di
tengah masyarakat, bangsa dan negaranya dan memiliki komitmen untuk membela
kepentingan bangsanya serta sanggup menanggung resiko dalam perjuangan
menegakkan keadilan dan kebenaran. Kemampuan yang dimiliki oleh kaum
intelektual yang tidak dimiliki oleh kelompok masyarakat lainnya adalah
kemampuan untuk melahirkan ide atau gagasan segar yang menjadi tenaga pendorong
perubahan sosial.
Negara-negara yang mengalami kemajuan pesat
pada 20-30 tahun belakangan ini adalah negara-negara yang mempunyai pemimpin
bermental bebas, merdeka, berdaulat dan mandiri serta percaya diri. Bangsa yang
tertindih hutang besar mau tidak mau pasti kehilangan bukan saja kemandirian
ekonomi, tetapi juga kemandirian politik. Dengan kata lain kita menjadi bangsa
yang tersandera.
Di Indonesia, masyarakat pada umumnya,
pemerintah dan media massa seolah menganggap pencurian pasir Indonesia yang
terjadi siang-malam sebagai biasa-biasa saja, seperti bukan kejahatan. Padahal
kerusakan lingkungan yang di derita Indonesia cukup parah.
Seorang teman pernah bercerita pada saya bahwa
para pecoleng pasir Korea Selatan, Belgia dan Rusia pernah sebentar tergentar
dan was-was dengan larangan resmi Indonesia terkait dengan perdagangan pasir. Akan
tetapi Belanda meyakinkan rekan-rekannya kalau tidak ada yang perlu
dikhawatirkan. Katanya, kurang lebih: “Jangan khawatir Bung, kami tahu persis
Indonesia. Kami pernah lama menjajah Indonesia. Kita terus saja menambang pasir
Indonesia, cuma kali ini harus lebih hati-hati”. Si maling pasir Belanda itu
ternyata benar.
Tujuh elemen korporatokrasi:
1. Korporasi besar
2. Pemerintah
3. Perbankan dan Lembaga Keuangan Internasional
4. Militer
5. Media massa
6. Intelektual pengabdi kekuasaan
7. Elite Nasional bermental Inlander
KORUPSI PALING BERBAHAYA (STATE CAPTURE
CORRUPTION)
Ada banyak cara yang dilakukan oleh kekuatan
korporatokrasi Internasional untuk menaklukkan sebuah negara berkembang.
Pertama, cara brutal lewat kekerasan dan kekuatan militer sehingga negara
berkembang yang dijadikan sasaran bertekuk lutut. Kedua, sebuah negara
berkembang ditaklukkan bukan lewat pendudukan militer dan penjajahan fisik,
tetapi lewat tekanan dan ancaman kekerasan. Ketiga, cara halus dan sama sekali
tidak memerlukan ancaman dan tekanan, apalagi kekerasan dan penjajahan fisik. Kalau
sebuah negara berkembang sudah pandai mendudukkan diri menjadi negara pelayan
atau negara komprador yang patuh, taat dan setia mengabdi pada kepentingan
korporatokrasi Internasional, buat apa lagi ancaman, tekanan dan kekerasan?
Saya bisa keliru, tetapi berdasarkan pantauan dan bukti-bukti telak yang saya
observasi, Indonesia, negara dan negeri kita tercinta, cenderung masuk dalam
kategori ketiga ini.
ZAMAN HABIBIE
Semasa pemerintahan Presiden Habibie
diterbitkan UU No. 10/1998 tentang perbankan. Undang-undang ini jauh lebih
eksplisit di dalam mendorong salah satu agenda Konsensus Washington, yaitu
liberalisasi sekor keuangan dan perdagangan.
ZAMAN MEGAWATI
Pemerintahan di bawah Presiden Megawati
Soekarno-Putri menerbitkan UU No. 19/2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.
ZAMAN YUDHOYONO
Indonesia melarat karena belum sepenuhnya
bebas dari cengkeraman kekuatan asing di bidang ekonomi (ini yang paling utama)
dan juga di bidang ekonomi (ini yang paling utama) dan juga di bidang politik
luar negeri, diplomasi dan bahkan di bidang pertahanan dan keamanan. Hendri
Saparini dari Tim Indonesia Bangkit menilai bahwa UU No. 22 Tahun 2001 tentang
minyak dan gas bumi justru memunculkan pengelolaan migas yang amburadul.
Saparini mengatakan bahwa UU migas pada era Megawati telah diijinkan ke pihak
asing untuk ditukar dengan hutang.
Selama kita terus saja merasa tidak ada yang
salah dengan state capture corruption yang makin menggurita dengan
berjalannya waktu, maka massa depan bangsa kita terus saja seperti sekarang
ini. Rakyat makin tahan untuk hidup menderita dan lupa pada hak-haknya yang
paling asasi, yaitu hidup layak dan terhormat sebagai bangsa berdaulat dan
merdeka.
Kesimpulan dan Saran:
Apa yang Harus Kita Kerjakan?
Pemerintahan Yudhoyono sebagai hasil pilihan
langsung rakyat Indonesia, sesungguhnya mempunyai legitimasi kuat untuk
membebaskan Indonesia dari perangkap korporatokratik yang jelas-jelas menguras
habis-habisan kekayaan Indonesia. Juga diharapkan dapat merintis jalan baru
buat tegaknya kedaulatan ekonomi, kedaulatan politik, dan kedaulatan pertahanan
keamanan kita. Namun sayang, kedaulatan nasional kita justru tergadaikan ke
berbagai korporasi asing.
Pengurasan dan penjarahan aset Nasional dan
kekayaan bangsa di darat, laut dan udara (Satelit Palapa) itu telah merugikan
bangsa dan negara dalam jumlah ribuan triliun rupiah. Inilah sebab musabab
mengapa kita terus saja mengalami kemelaratan “terprogram”, sistematik dan
berjangka panjang. Inilah jenis korupsi terbesar dimana pemerintah menjadi
pelaku utamanya.
Berikut ini adalah beberapa saran yang dapat
diperdebatkan secara jernih dan bertanggung jawab demi masa depan kita yang
lebih memberikan harapan dan perbaikan, yaitu:
ª
Secepat dan secermat mungkin kita persiapkan kepemimpinan
nasional alternatif, yaitu memiliki mentalitas yang bebas, merdeka, dan
mandiri.
ª
Kepemimpinan alternatif itu harus diupayakan sebanyak
mungk diiisi oleh tokoh-tokoh muda usia yang berwawasan nasional dan
internasional.
ª
Unsur-unsur yang mengisi kepemimpinan alternatif harus
memahami bahwa kekuasaan adalah amanat rakyat yang harus ditunaikan dengan
kejujuran dan kerja keras.
ª
Kepemimpinan baru yang merupakan kepemimpinan alternatif
itu harus segera mengkampanyekan pentingnya menancapkan kembali kemandirian
nasional.
ª
Bahwa kita harus membuka diri dan bekerjasama dengan
negara-negara lain, tentu merupakan keniscayaan yang tidak terhindarkan dalam
pergaulan antar-bangsa dan antar-negara dewasa ini. Akan tetapi semua itu kita
lakukan dalam kesetaraan, kesederajatan, kesejajaran, dan dibangun atas dasar
saling menguntungkan.
ª
Kepemimpinan baru (kepemimpinan alternatif) itu harus
segera berhenti menjadi bagian tidak terpisahkan dari korupsi-sandera-negara,
yang nyata-nyata telah mengantarkan dan menjerumuskan Indonesia ke lembah
kemiskinan, pengangguran meluas dan keterbelakangan multi-dimensi.
ª
State capture corruption adalah sebab utama keterbelakangan bangsa.
Kepemimpinan nasional alternatif kita harapkan jangan berlagak pilon atau malah
tidak mau tahu persoalan mendasar bangsa.
ª
Sangat diperlukan beberapa ekonom tangguh ke dalam
keanggotaan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) di masa datang.
ª
Seluruh KKS (Kontrak Kerja Sama)/KPS (Kontrak Production
Sharing) di bidang migas dan KK (Kontrak Karya) di bidang non-migas harus
dipelajari dan ditelaah lagi secara jujur dan rasional.
ª
Pacta sunt survanda memang harus kita hormati, tetapi klausul rebus
sic stantibus tidak boleh kta lupakan. Kepentingan bangsa sendiri adalah
nomor satu dan paling utama.
ª
Dengan alasan memelihara kelestarian lingkungan,
seharusnya Indonesia dapat menghentikan secara sepihak kegiatan korporasi asing
yang nyata-nyata telah melakukan ecocida atau pembunuhan lingkungan
selama menambang sumber daya alam Indonesia.
Label:
Resume
0 komentar: