Upacara Siraman Kyai
Pradah adalah upacara tradisional yang masih dilestarikan oleh masyarakat
Kecamatan Sutojayan, Kabupaten Blitar. Upacara ini diadakan dua kali setahun,
yaitu setiap tanggal 12 Rabiul Awal dan l Syawal.
Ditinjau dari asal
katanya, kata siraman berasal dari kata siram (bahasa Jawa) berarti ‘mengguyur
dengan air, dan pada peristiwa tertentu yang bersifat luar biasa dilakukan
dengan menggunakan minyak atau zat cair lainnya’. Dalam bahasa Indonesia, kata
siram berarti ‘mandi’, siraman ‘berarti upacara memandikan pusaka’. Adapun Kyai
Pradah adalah sebutan sebuah gong yang dikeramatkan masyarakat Lodoyo sebagai
benda pusaka.
Jadi yang dimaksud
dengan siraman Kyai Pradah adalah kegiatan memandikan benda pusaka berupa
sebuah gong dengan menggunakan air kembang setaman.
Mengenai riwayat gong
tersebut sampai sekarang belum diperoleh sumber data yang pasti, hanya dari
cikal bakal daerah Lodoyo dan tutur kelantur di masyarakat diperoleh gambaran
sebagai berikut: Ada yang mengatakan bahwa Kyai Pradah dibuat oleh Sunan Rawu,
kembaran Kyai Becak, pusaka R.M. Said atau Pangeran Mangkunegoro I.
Ada pula yang
mengatakan bahwa Kyai Pradah berasal dari Adipati Terung, kembaran dari tongkat
sakti Tikus Jinodo yang diberi nama Kyai Macan, yang diturunkan kepada Kyai
Pengging sebagai kembaran Bende Udan Arum. Kyai Macan tersebut kemudian
dipinjam oleh Sunan Kudus sebagai tengoro bagi laskar Demak sewaktu menyerang
kerajaan Majapahit.
Menurut Kyai Solikodin,
Kepala Desa Babadan yang meninggal pada tahun 1955, Kyai Macan sudah berada di
Lodoyo tahun 1926. Dikatakan pula bahwa Kyai Macan memang buatan Sunan Kudus
sendiri yang dibuat lebih dahulu daripada gamelan Sahadatin.
Pelacakan oleh Bupati
Blitar dan Asisten Kediri pada tahun 1927, mengenai riwayat Kyai Pradah,
diperoleh informasi sebagai berikut: Sewaktu tentara Demak akan menggempur
kerajaan Majapahit, Sunan Kudus mengikuti dari belakang sambil membawa bende
Kyai Macan. Berhubung pasukan tentara Demak lebih kecil bila dibandingkan
dengan pasukan tentara Majapahit, maka pasukan tentara Demak kemudian
berpencar. Pada saat itu, wilayah sekitar Majapahit masih berupa hutan,
sehingga ketika Kyai Macan dipukul, suaranya yang menyerupai harimau menggaum
memantul ke segala penjuru. Mendengar suara itu, tentara Majapahit mengira
tentara Demak mengerahkan harimau siluman. Banyak di antara mereka ketakutan
dan meninggalkan pos penjagaan. Hal itu justru memudahkan tentara Demak masuk
ke dalam kota Majapahit dan mendudukinya. Sesudah kerajaan Majapahit roboh,
berdirilah kerajaan Demak. Kyai Macan kemudian dijadikan pusaka Demak disatukan
dengan gamelan Sahadatin. Sejak itu, Kyai Macan berpindah-pindah menjadi pusaka
Pajang dan Kartosuro.
Menurut cerita, Sunan
Paku Buwono I mempunyai seorang putra dari garwo ampeyan bernama Pangeran
Prabu. Sewaktu garwo padmi belum berputra, Pangeran Prabu dijanjikan akan
diangkat menjadi raja sebagai pengganti dirinya. Namun, ternyata garwo padmi
melahirkan seorang putra laki-laki. Agar tidak menimbulkan perang saudara,
Pangeran Prabu disuruh pergi ke hutan Lodoyo untuk mendirikan kerajaan. Saat itu, hutan Lodoyo
terkenal wingit(angker), maka Pangeran Prabu diberi gong Kyai Macan sebagai
tumbal. Pangeran Prabu bersama-sama isterinya, Putri Wandansari, kemudian
berangkat disertai beberapa abdi. Sebenarnya Sunan Paku Buwono I berbuat
demikian itu bukan bermaksud agar Pangeran Prabu berhasil mendirikan kerajaan,
melainkan agar Pageran Prabu mengalami kehancuran dari godaan jin. Dilain
pihak, Pangeran Prabu sendiri sebenarnya juga tidak ingin mendirikan kerajaan
karena beliau sesungguhnya seorang ulama besar. Pangeran Prabu dapat menangkap
maksud Sunan Paku Buwono I terhadap dirinya. Sehingga untuk menghilangkan
jejaknya, beliau berpindah-pindah tempat tinggalnya. Setiap menempati lokasi
baru, beliau mengadakan pengajian. Pangeran Prabu kemudian mendirikan pondok.
Pondok Pangeran Prabu atau yang kemudian lebih dikenal dengan nama Panembahan
Imam Sampurna, semakin lama bertambah banyak muridnya. Keberhasilan itu akhirnya
terdengar oleh Adipati Srengat yang bernama Pangeran Martodiningrat, maka
segera dilaporkan ke Kartosuro karena dikhawatirkan Pangeran Prabu akan
mendirikan kerajaan. Kartosuro pun kemudian mengirim tentaranya dibantu oleh
kompeni Belanda. Pangeran Prabu atau Panembahan Imam Sampurno mengetahui hal
itu lalu bersembunyi di hutan Kedung Bunder dan berganti nama menjadi Mbah
Tjingkrang. Kata Tjingkrang mengandung arti ’maksud beliau belum tercapai’.
Mbah Tjingrang akhirnya menetap di Kedung Bunder sampai akhir hayatnya. Makam
Mbah Tjingkrang pun akhirnya menjadi punden keramat.
Kembali kepada gong
Kyai Macan yang disertakan Pangeran Prabu pada waktu hendak melakukan
perjalanan lagi, karena tempat tinggalnya berpindah-pindah, Kyai Macan kemudian
dititipkan pada Nyi Partosoeto dengan pesan agar setiap tanggal 12 Rabiul Awal
dan 1 Syawal disiram dengan air kembang setaman dan diborehi. Dikatakan pula
bahwa air bekas siraman Kyai Macan dapat dipakai untuk menyembuhkan orang
sakit. Setelah Nyi Partosoeto meninggal dunia, Kyai Macan disimpan oleh Ki
Rediboyo, lalu tumurun ke Kyai Rediguno, dan tumurun lagi ke Ki Imam Setjo,
yang bertempat tinggal di Dukuh Kepek, Ngeni. Ketika disimpan Ki Imam Setjo,
terjadi kejadian yang agak ganjil mengenai jiwa penduduk. Setiap ada anak lahir
pasti ada orang yang meninggal dunia. Di tengah suasana. yang demikian itu, ada
seseorang bermimpi agar anaknya terhindar dari serangan penyakit, maka ia harus
nyekar ke Kyai Macan. Saran dalam impian itupun dilaksanakan dan ternyata berhasil.
Tindakan itu kemudian banyak diikuti hingga tersiar sampai ke tempat yang jauh.
Semakin lama semakin banyak orang meminta berkah kepada Kyai Macan. Karena
kebaikannya itu, Kyai Macan kemudian diberi nama Kyai Pradah.
Setelah Lodoyo bagian
dataran rendah ramai, oleh Pemerintah Kartosuro dibentuk pemerintahan rendah
dengan pimpinan berpangkat Aris/Ronggo. Aris yang pertama kali ditempatkan di
Sukoanyar bernama Djindoyo/Djigangdoyo. Kyai Pradah yang disimpan oleh Ki Imam
Setjo kemudian diserahkan ke Sukoanyar dan dijadikan pusaka daerah. Sesudah
Lodoyo dikuasai Gubernur Belanda disertai penempatan seorang wedono, maka Kyai
Pradah diserahkan kepada Wedono Lodoyo. Wedono Lodoyo yang pertama kali adalah
R. Prawirohardjo.
Secara keseluruhan acara dalam
upacara siraman ini dapat diklasifikasi menjadi tiga tahap:
a.
Tahap
persiapan,meliputi acara pembentukan panitia, menghias tempat upacara, memotong
kambing sesaji, dan membuat sesaji
b.
Tahap
pelaksanaan,meliputi acara tirakatan, selamatan, ziarah, dan siraman.
c.
Tahap penutupan,
meliputi acara selamatan, hiburan, sepasaran, dan selapanan.
Upacara siraman Kyai
Pradah dimaksudkan sebagai sarana memohon berkah kepada kekuatan gaib atau roh
leluhur yang ada di dalam Kyai Pradah. Mereka percaya bahwa air bekas siraman Kyai
Pradah dapat membuat awet muda dan dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Di
samping itu saat upacara merupakan saat paling baik untuk membeli alat-alat
pertanian karena dengan memakai alat yang dibeli saat upacara akan mendatangkan
kesuburan dan tanaman akan terbebas dari hama. Demikian pula bagi para
pedagang. Mereka banyak yang datang dari luar kota Lodoyo untuk ngalap berkah.
Mereka percaya meskipun pada saat upacara, dagangan tidak banyak terjual,
tetapi setelah upacara berakhir, dagangan akan mudah terjual. Pada musim
kemarau, siraman ini juga sebagai sarana memohon turun hujan.
Untuk masa sekarang
upacara lebih dimaksudkan sebagai usaha melestarikan budaya bangsa, dimana
upacara siraman Kyai Pradah merupakan naluri masyarakat Lodoyo turun-temurun yang
tidak dapat dihapus begitu saja karena sudah mendarah daging.
Upacara siraman Kyai
Pradah dilaksanakan dua kali setahun, yaitu setiap tanggal 12 Robiul Awal
bertepatan dengan hari Maulud Nabi Muhammad dan tanggal 1 Syawal bertepatan
dengan hari Raya Idul Fitri. Khusus penyelenggaraan tanggal 12 Robiul Awal
upacara diadakan secara besar-besaran, sedangkan upacara yang diadakan pada
tanggal 1 Syawal dilaksanakan secara sederhana oleh petugas yang berkepentingan
saja.
Upacara siraman
berlangsung dua hari. Sehari menjelang acara puncak kurang lebih pukul 14.00
WIB dimulailah acara menghias tempat upacara, dilanjutkan dengan pemotongan
kambing sesaji, serta pembuatan sesaji. Sedangkan pembentukan panitia sudah
diadakan lima belas hari sebelumnya.
Masih dalam satu rangkaian waktu,
pukul 19.00 WIB dilaksanakan tirakatan sampai pukul 04.00 WIB keesokan harinya.
Namun, ditengah acara tirakatan yaitu pukul 24.00 WIB acara dihentikan sejenak
untuk melaksanakan selamatan.
Pagi harinya pukul
07.30 WIB acara dilanjutkan dengan berziarah ke Dukuh Dadapan. Barulah pada
pukul 11.00 WIB puncak acara siraman dilaksanakan. Seusai siraman dilanjutkan
dengan selamatan dan hiburan. Hiburan berakhir bersama selesainya pagelaran
ringgit purwo yang diselenggarakan pada malam hari tanggal 12 Rabiul Awal.
Sebagai penutup upacara
siraman Kyai Pradah setelah lima hari diadakan selamatan sepasaran serta
selamatan selapanan pada hari ke-35 dari saat siraman.
Pelaksanaan upacara siraman Kyai Pradah dipusatkan di alun-alun Kawedanan Lodoyo kecuali ziarah. Di lokasi tersebut perlengkapan upacara telah dipersiapkan secara permanen, yaitu: panggung siraman setinggi tiga meter dengan luas kurang lebih enam belas meter persegi, dan sanggar penyimpanan, serta pendopo kawedanan.
Sanggar penyimpanan
adalah tempat penyimpanan Kyai Pradah beserta kenong dan wayang krucil, tempat
dimana para pengunjung menyampaikan hajadnya pada hari-hari biasa. Pada saat
upacara, sanggar penyimpanan digunakan untuk tirakatan dan selamatan.
Adapun panggung siraman
adalah tempat untuk melaksanakan acara puncak yaitu siraman gong Kyai Pradah;
pendopo kawedanan pada saat upacara digunakan sebagai tempat duduk para
undangan, acara selamatan, dan tempat hiburan. Ziarah dilakukan di patilasan
yang terletak di Dukuh Dadapan, Kecamatan Sutojayan.
Penyelenggaraan
upacara siraman pada mulanya dilakukan secara spontan oleh warga masyarakat
dengan dikoordinasi para kepala desa di Kecamatan Sutojayan. Namun sekarang
penyelenggaraan upacara dikoordinasi oleh Pemerintah Daerah Tingkat II
Kabupaten Blitar. Tokoh-tokoh yang
berperan sebagai penyelenggara teknis upacara adalah sebagai berikut.
a. Pejabat Pemerintah. Pada upacara yang dilaksanakan pada tanggal 12 Robiul Awal sebagai penanggung jawab formal pelaksana upacara adalah Bupati Blitar, sedangkan pada upacara 1 Syawal tokoh yang berperan adalah Pembantu Bupati Lodoyo.
b. Juru kunci, yaitu juru kunci petilasan dan juru kunci Kyai Pradah.
c. Para dhalang yang bertempat tinggal di Lodoyo, bertugas membawa kenong dan wayang krucil.
d. Petugas pembawa panji-panji Kawedanan Lodoyo dan payung
e. Pemain kesenian tradisional.
f. Pemasak sesaji.
a. Pejabat Pemerintah. Pada upacara yang dilaksanakan pada tanggal 12 Robiul Awal sebagai penanggung jawab formal pelaksana upacara adalah Bupati Blitar, sedangkan pada upacara 1 Syawal tokoh yang berperan adalah Pembantu Bupati Lodoyo.
b. Juru kunci, yaitu juru kunci petilasan dan juru kunci Kyai Pradah.
c. Para dhalang yang bertempat tinggal di Lodoyo, bertugas membawa kenong dan wayang krucil.
d. Petugas pembawa panji-panji Kawedanan Lodoyo dan payung
e. Pemain kesenian tradisional.
f. Pemasak sesaji.
Sehari sebelum saat
siraman, yaitu tanggal 11 Rabiul Awal pukul 14.00 WIB, sanggar penyimpanan,
panggung siraman, serta tempat penyembelihan kambing sesaji dihias dengan janur
sehingga suasana terasa lebih meriah dan bernuansakan kemagisreligiusan. Hanya,
khusus panggung siraman selain dihias dengan janur juga dipasang untaian daun
beringin, andong, puring, serta daun langsuran.
Setelah acara menghias
selesai dilanjutkan dengan pemotongan kambing sesaji. Kambing sesaji ini hanya
satu ekor. Itupun hanya diambil kepala dan jerohannya saja. Kepala dan jerohan
kemudian dibungkus dengan kain mori untuk dijadikan sesaji ziarah.
Selesai pemotongan kambing
sesaji dilanjutkan pembuatan sesaji. Pembuatan sesaji dilakukan oleh para ibu
yang sudah tidak menstruasi, dengan dikoordinasi juru kunci Kyai Pradah. Sesaji
dalam sebuah upacara memegang peranan penting karena kelengkapan sesaji
menentukan keberhasilan upacara religius. Sesaji yang kurang lengkap dapat
menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Sesaji yang dipersiapkan dalam
upacara ini adalah sesaji untuk sanggar penyimpanan, sesaji selamatan, sesaji
ziarah, dan sesaji siraman.
Tanggal 11 Rabiul Awal kurang lebih
pukul 19.00 WIB, di halaman sanggar penyimpanan diadakan malam tirakatan. Di
malam tirakatan inilah para pengunjung menyampaikan hajadnya melalui juru kunci
Kyai Pradah. Setelah hajad disampaikan, mereka yang berhajad diambilkan bunga
telon yang ditaburkan di atas Kyai Pradah. Bunga tersebut oleh yang berhajad
dibawa pulang, disimpan sebagai jimat.
Malam tirakatan diisi
dengan berjanjen yaitu pembacaan puji-pujian yang berisi doa terhadap Tuhan
diiringi instrumen jedhoran. Malam tirakatan banyak diikuti pengunjung yang
sengaja datang bertirakat, mengunjungi pasar malam, atau mereka yang berusaha
mencari tempat strategis untuk saat puncak acaranya. Tengah malam pukul 24.00
WIB berjanjen dihentikan sebentar untuk melakukan selamatan. Selamatan dipimpin
oleh juru kunci Kyai Pradah. Sesaji selamatan adalah berupa nasi gurih dengan
lauk ingkung yang disebut sekul suci ulam sari atau nasi girih iwak lado.
Sesaji selamatan ini selain disediakan oleh penyelenggara, banyak pula dibawa
oleh pengunjung yang berhajad. Setelah diujubi, sesaji tersebut dimakan
bersama-sama. Selesai selamatan, tirakatan dilanjutkan lagi sampai keesokan
harinya kurang lebih pukul 04.00 WIB.
Keesokan harinya
setelah tirakatan berakhir, sebagian pengunjung ada yang pulang untuk sholat
subuh. Banyak juga pengunjung yang tetap tinggal di tempat menanti acara
berikutnya, berziarah ke petilasan di dukuh Dadapan.
Pukul 07.30 WIB tanggal
12 Rabiul Awal, pintu sanggar penyimpanan dibuka. Payung, pedupaan, sesaji
ziarah dikeluarkan untuk dibawa ke petilasan. Sesaji yang berupa kepala kambing
dan jerohan digendong oleh juru kunci dengan dipayungi oleh petugas diiringi
barisan pengiring menuju ke petilasan. Mereka adalah rombongan kesenian
tradisional kuda lumping Dadak Merak, kesenian Jedhoran, para dhalang, para
kepala desa para perabot desa seluruh Kawedanan Lodoyo, dan sebagian besar
pengunjung serta emban ceti yang membantu membawa sesaji ziarah lainnya.
Jarak dari alun-alun
menuju petilasan kurang lebih satu kilometer. Petilasan ini berupa
bangunan-bangunan permanen berbentuk cungkup (menyerupai rumah berukuran kecil
dengan luas kurang lebih tiga meter persegi). Sesampainya di petilasan, sesaji
diberikan kepada juru kunci petilasan. Sesaji yang berupa kepala dan jerohan
tadi kemudian ditanam oleh juru kunci Kyai Pradah serta ditaburi dengan bunga
tabur. Sesaji yang ditanam di petilasan itu dimaksudkan sebagai tumbal,
berkaitan dengan hilangnya Kyai Pradah pada tahun 1907.
Gong Kyai Pradah dicuri
oleh seseorang yang sedang terganggu jiwanya. Orang tersebut bernama Mukimin.
Menurut Mukimin, ia merasa diperintah memindahkan tempat penyimpanan Kyai
Pradah karena sanggar penyimpanannya terancam bau yang ditimbulkan oleh asap
pembakaran beribu-ribu ekor tikus yang ditangkap penduduk. Setelah Kyai Pradah
diambil kemudian dimandikan di sungai Brantas. Bupati Blitar dilapori tentang
hilangnya kyai Pradah segera memerintahkan beratus-ratus petugas untuk
mencarinya. Tepat pukul 11.00 WIB, Kyai Pradah ditemukan. Mukiminpun ditangkap.
Selanjutnya, saat ditemukannya kembali Kyai Pradah ditetapkan sebagai saat
siraman, sedangkan dukuh Dadapan sebagai tempat ditemukannya kembali Kyai
Pradah dijadikan sebagai petilasannya.
Seusai penanaman,
barisan kembali ke alun-alun dengan posisi seperti ketika berangkat menuju
petilasan. Tepat pukul 11.00 WIB siraman Kyai Pradah dimulai.
Bapak Pembantu Bupati,
Bapak Camat Sutojayan, juru kunci Kyai Pradah dari halaman pendopo Pembantu
Bupati berjalan menuju sanggar penyimpanan bersiap-siap membawa Kyai Pradah
yang akan disirami. Barisan berjalan mengelilingi alun-alun Lodoyo dengan
urut-urutan sebagai berikut. Paling depan dalam barisan tersebut adalah
kesenian jaranan Dadak Merak, menyusul kemudian rombongan instrumen jedhoran,
tim pembawa panji-panji Pembantu Bupati Lodoyo, pembawa padupaan, juru kunci
Kyai Pradah yang menggendong Kyai Pradah di atas dadanya dengan dipayungi dua
orang petugas pembawa payung, para dhalang serta emban ceti, serta paling ujung
barisan adalah rombongan kesenian tradisional lainnya,
Setelah barisan sampai
di depan pendopo, kemudian Bapak Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kabupaten
Blitar yang telah menunggu di depan pendopo menyusup ke dalam iringan barisan
menuju panggung siraman.
Sesampainya di panggung
siraman, Kyai Pradah digantungkan pada tempat yang telah disiapkan di
tengah-tengah panggung. Di bawah gantungan tersebut diletakkan bak air untuk
menampung air bekas siraman. Kain pembungkus pun dilepaskan.
Siraman dimulai dengan
pembacaan riwayat Kyai Pradah oleh Bapak Bupati yang diwakilkan pada salah satu
petugas. Pembacaan dilakukan dengan mikrofon sehingga para pengunjung mendengar
dengan jelas.
Selesai pembacaan
riwayat dimulailah puncak acara siraman. Siraman pertama kali dilakukan oleh
Bapak Bupati, dilanjutkan Bapak Pembantu Bupati, pejabat Muspika, juru kunci
dan para dhalang. Kyai Pradah kemudian digosok-gosok dengan kembang setaman
agar hilang karatarinya. Kembang setaman kemudian dipercik-percikkan ketujuh
tempayan yang telah diisi air.
Setelah Kyai Pradah
selesai disirami, maka Bapak Bupati segera mengguyurkan air yang ditempayam ke
para pengunjung yang berdesak-desakan di bawah panggung siraman sampai habis.
Demikian halnya yang di atas panggung pun saling berebut mendapatkan air bekas
siraman.
Selain Kyai Pradah, di
dalam upacara siraman dimandikan pula empat buah wayang krucil dan dua buah
kenong. Selesai disirami, Kyai Pradah beserta kenong dan wayang krucil
dikeringkan dengan lap khusus.
Sampailah saat yang
dinanti-nantikan, Kyai Pradah pun ditabuh oleh Bapak Bupati diperdengarkan kepada
pengunjung. Setiap kali menabuh, Bapak Bupati bertanya: “Kados pundi
suantenipun ?” dijawab para pengunjung “sae”, yang dalam bahasa Indonesianya :
“Bagaimana suaranya?” dijawab “bagus” . Demikian itu dilakukan tuju kali
berturut-turut. Menurut kepercayaan, apabila bunyi Kyai Pradah mengaung-ngaung
bergema ke segala penjuru, dianggap sebagai pertanda bahwa upacara berjalan
sempurna. Masyarakat boleh berharap berkah akan melimpah di dalam kehidupan
mereka, sehingga dapat tenang hidupnya. Namun, apabila terdengar bunyinya
tersendat-sendat, maka masyarakat menjadi tidak tenteram, karena akan datang
saat sial atau keadaan yang tidak menyenangkan kehidupan mereka.
Sesudah Kyai Pradah
diperdengarkan suaranya kemudian diberi boreh. Demikian juga wayang krucil dan
kenongnya. Kyai Pradah pun dibungkus kembali dengan kain mori putih yang masih
baru. Dengan digendong juru kunci dan iring-iringan seperti ketika menuju
panggung siraman, Kyai Pradah dibawa kembali menuju sanggar penyimpanan. Tepat
di depan pendopo, Bapak Bupati keluar dari barisan. Kyai Pradah disemayamkan
kembali dengan posisi mendatar. Demikian pula wayang krucil dan kenong
dimasukan ke dalam tempatnya semula. Kyai Pradah kemudian ditaburi dengan bunga
tabur dan pintu sanggar penyimpan ditutup kembali.
Kyai Pradah
disemayamkan, diadakan lagi selamatan sebagai ungkapan syukur karena pacara
telah berjalan dengan lancar. Seperti asalnya pada selamatan tirakatan, pada
selamatan kali inipun para pengunjung berusaha mendapat sesaji untuk dijadikan jimat
atau obat jika ada anggota keluarganya yang sakit.
Upacara Siraman Kyai
Pradah diakhiri dengan hiburan berupa tari gambyong, tari tayub, dan ringgit
purwo pada malam harinya. Hiburan ini tidak ada batasan waktunya, hanya
mengingat penyelenggara sebagian besar bekerja di instansi pemerintah, maka
hiburan dibatasi waktunya. Meskipun begitu, para pengunjung tidak berkecil
hati. Mereka tetap menunggu dimulainya hiburan ringgit purwo yang berakhir pada
keesokan harinya.
Dengan berakhirnya
acara hiburan maka berakhir pulalah rangkaian upacara siraman Kyai Pradah,
walaupun sebenarnya masih ada acara selanjutnya, yaitu selamatan selapanan dan
selamatan sepasaran yang dilakukan secara sederhana dan terbatas pesertanya.
pemandian gong 'kyai pradah'
Label:
Opini
0 komentar: