FILSAFAT UMUM


A. Pengetian filsafat
Filsafat , philosophy, dalam bahasa Inggeris, atau philosophya dalam Yunani mempunyai arti cinta akan kebijaksanaan. Philos (cinta) atau philia (persahabatan, tertarik kepada) dan sophos (kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis, inteligensi. Dari pengertian tersebut filsafat sebenarnya amat dekat dengan realitas kehidupan kita. Untuk mengerti apa filsafat itu, orang perlu menggunakan akal budinya untuk merenungkan relaitas hidupnya, “apa itu hidup? Mengapa saya hidup? Akan kemana saya hidup? Tentunya pertanyaan tersebut sejatinya muncul alamiah bila akal budi kita dibiarkan bekerja. Persoalannya, apakah orang atau peminat filsafat sudah membiarkan akal budinya bekerja dengan baik memandang relaitas? Aristoteles menyebut manusia sebagai “binatang berpiki

Sementara itu pengertian filsafat secara terminology, diuraikan banyak pakar, yaitu :
·         A. Sonny Keraf dan Mikhael Dua mengartikan ilmu filsafat sebagai ilmu tentang bertanya atau berpikir tentang segala sesuatu (apa saja dan bahkan tentang pemikiran itu sendiri) dari segala sudut pandang. Thinking about thinking.
·         Beberapa filsuf mengajukan beberapa definifi pokok seperti:
Ø    Upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematik serta lengkap tentang seluruh realitas
Ø    Upaya untuk melukiskan hakekat realitas akhir dan dasar serta nyata,
Ø    Upaya untuk menentukan batas-batas jangkauan pengetahuan: sumbernya, hakekatnya, keabsahannya, dan nilainya.
Ø    Penyelidikan kritis atas pengandaian-pengandaian dan pernyataan-pernyataan yang diajukan oleh berbagai bidang pengetahuan
Ø    Disiplin ilmu yang berupaya untuk membantu anda melihat apa yang ada katakan dan untuk mengatakan apa yang anda lihat.
Ø    sebagai disiplin ilmu yang mencari dan menggeluti segara yang ada sehingga sampai pada suatu kebijaksanaan universal dengan mengunakan akal budi guna merumuskanya secara sistematis, metodis dan dapat dipertanggungjawabkan secara akal budi pula.

  • Hamersma (1981: 10) mengatakan bahwa Filsafat merupakan pengetahuan metodis, sistematis, dan koheren tentang seluruh kenyataan Jadi, dari definisi ini nampak bahwa kajian filsafat itu sendiri adalah realitas hidup manusia yang dijelaskan secara ilmiah guna memperoleh pemaknaan menuju “hakikat kebenaran”.
  • Titus et.al (dalam Muntasyir & Munir, 2002: 3) memberikan klasifikasi pengertian tentang filsafat, sebagai berikut :
Ø    Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara tidak kritis (arti informal).
Ø    Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang sangat kita junjung tinggi (arti formal).
Ø    Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan. Artinya filsafat berusaha untuk mengombinasikan hasil bermacam-macam sains dan pengalaman kemanusiaan sehingga menjadi pandangan yang konsisten tentang alam (arti spekulatif)
Ø    Filsafat adalah analisis logis dari bahasa serta penjelasan tentang arti kata dan konsep. Corak filsafat yang demikian ini dinamakan juga logosentris.
Ø    Filsafat adalah sekumpulan problema yang langsung, yang mendapat perhatian dari manusia dan yang dicarikan jawabannya oleh ahli-ahli filsafat


B. Guna dan Manfaat  FIlsafat
*      Membiasakan diri utk bersikap kritis, sehingga tidak terjebak ke dalam sifat "asal ngikut" (taklid buta)
*      Membiasakan diri utk bersikap logis-rasional  (Opini & argumentasi )
*      Mengembangkan semangat toleransi dlm perbedaan pandangan (pluralitas).
*      Mengajarkan cara berpikir yg cermat dan tdk kenal lelah
*      Membuka wawasan berpikir menuju ke arah verstehen (penghayatan).
*      Filsafat menolong mendidik, membangun diri kita sendiri: dengan berpikir lebih mendalam, kita mengalami dan menyadari kerohanian kita. Rahasia hidup yang kita selidiki justru memaksa kita untuk berpikir untuk hidup sesadar-sadarnya, dan memberikan isi kepada hidup kita sendiri.
*      Filsafat memberikan kebiasaan dan kepandaian untuk melihat dan memecahkan persoalan-persoalan dalam hidup sehari-hari. Orang yang hidup secara "dangkal" saja, tidak mudah melihat persoalan-persoalan, apalagi melihat pemecahnya. Dalam filsafat kita dilatih melihat dulu apa yang menjadi persoalan, dan ini merupakan syarat mutlak untuk memecahkannya.
*      Filsafat memberikan pandangan yang luas, membendung "akuisme" dan "aku-sentrisme" (dalam segala hal hanya melihat dan mementingkan kepentingan dan kesenangan si aku).
*      Filsafat merupakan latihan untuk berpikir sendiri, hingga kita takhanya ikut-ikutan saja, membuntut pada pandangan umum, percaya akan setiap semboyan dalam surat-surat kabar, tetapi secara kritis menyelidiki apa yang dikemukakan orang, mempunyai pendapat sendiri, "berdiri-sendiri",dengan cita-cita mencari kebenaran.
*      Filsafat memberikan dasar-dasar, baik untuk hidup kita sendiri (terutama dalam etika) maupun untuk ilmu-ilmu pengetahuan dan lainnya, seperti sosiologi, ilmu jiwa, ilmu mendidik, dan sebagainya.

C. Tujuan Filsafat
  1. Mencapai pengertian  dan kebijaksanaan (understanding and wisdom).
  2. Mencari hakikat kebenaran sesuatu, baik dalam logika (kebenaran berpikir), etika (berperilaku), maupun metafisik (hakikat keaslian).


Historisitas Filsafat

Pembagian Tahapan Pemikiran Filsafat
Berdasarkan sejarah, Suzanne K. Langer (1971) membagi tahapan pemikiran filsafat menjadi 6 tahap. Keenam tahap itu dikemukakan di sini namun dengan disertai satu tahap tambahan (jadi ada 7 tahap) yang menurut saya perlu dimasukkan, yaitu tahap postmodernisme. Selain itu, dalam makalah ini ada beberapa catatan tambahan yang menurut saya perlu ditambahkan ke dalam tahap-tahap tertentu dari pembagian tahapan oleh Langer. Secara singkat tahap-tahap itu saya kemukakan sebagai berikut.

1. Tahap Kebangkitan Rasio Yunani Kuno (600 SM): Filsafat Alam
Pada tahap ini para filsuf Yunani mengubah orientasi pikiran manusia dari mitos menjadi logos. Thales memulai pencarian asal-usul utama (arche) alam semesta, diteruskan oleh Anaximenes  dan Anaximander, serta filsuf-fisuf sebelum Socrates. Filsafat yang berkembang pada masa ini disebut filsafat alam karena pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan berkisar tentang terjadinya alama semesta.

2. Tahap Filsafat Manusia: Socrates, Plato dan Aristoteles (+/- 200 SM)
Pada tahap ini perubahan titik berat pengkajian dari alam ke manusia. Pertanyaan-pertanyaan tentang alam digantikan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang manusia dan perilaku baik-buruknya. Filsuf-filsuf yang terkemuka pada masa ini adalah Socrates, Plato dan Aristoteles. Pada tahap ini etika juga berkembang pesat. Pemikiran-pemikiran mereka tentang etika masih mempengaruhi teori-teori etika hingga akhir aba 20 ini.

3. Tahap Filsafat Alam, Manusia dan Tuhan Penciptanya (300-1300 M)
Pada tahap ini teologi ditopang oleh rasio. Tokoh yang terkenal adalah Thomas Aquinas dan St. Augustine. Setelah masukknya agama Kristiani filsafat mengalami pergeseran, yaitu ketika para filsuf mempertnyakan manusia dan alam ini dalam kaitannya dengan Tuhan. Persaingan antara rasio (nalar) dengan kepercayaan (iman)  diawali pada tahap ini. Karena para filsuf pada masa ini berasal dari kalangan gereja, maka mereka menegaskan bahwa filsafat mengabdi pada teologi (Faith over Reason). Hampir bersamaan dengan masa ini, Eropa dianggap mengalami abad kegelapan karena terjadi banyak pengekangan terhadap kegiatan olah pikiran oleh gereja. Kaum agamawan berperan sebagai pihak yang meenentukan apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh individu masa itu. Kurang lebih pada masa yang sama dengan masa kegelapan Eropa, di Timur Tengah terjadi kondisi yang bertolak belakang dengan Eropa. Pada masa ini peradaban Islam justru sedang mencapai kejayaan di bidang filsafat dan ilmu pengetahuan. Langer tidak memasukkan masa kejayaan Islam ini dalam sejarah perkembangan filsafat. Namun menurut saya sangat perlu memasukkan perkembangan filsafat di wilayah Arab karena lewat para filsuf Arab-lah orang Eropa mempelajari pemikiran-pemikiran filsafat Yunani Kuno. Filsuf-filsuf Islam seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyh merupakan tokoh-tokoh yang berjasa besar dalam menerjemahkan dan menafsirkan karya-karya para filsuf Yunani seperti Plato dan Aristoteles. Perkembangan filsafat dalam peradaban Islam merupakan satu bagian sejarah filsafat yang sangat penting untuk dicatat dan dipelajari. Apalagi para filsuf Islam tidak hanya sekedar mempelajari filsafat Yunani Kuno tetapi mereka juga melahirkan buah-buah pikiran hasil perpaduan filsafat Yunani Kuno, ajaran Islam, tasawuf, dan berbagai pengamatan terhadap kondisi sosial pada masa itu. Karya-karya filsuf Islam masa itu merupakan kekayaan pemikiran yang berharga dan patut dikaji hingga kini.

4. Tahap Filsafat Modern (abad 17 M)
Pada masa ini rasio kembali menjadi pusat kegiatan filsafat. Selain itu, filsafat lebih bersifat antroposentris dibanding teosentris. Pandangan filsuf gereja digantikan oleh pandangan-pandangan pemikir rasinalis yang menkankan pentingnya rasio dalam menemukan kebenaran. Filsafat Descartes, Spinoza, dan Leibniz memulai pemikiran fisafat modern. Descartes memulai tahap filsafat modern dengan semboyannya yang terkenal “cogito ergo sum” (saya berpikir maka saya ada). Descartes mengkritik para filsuf dan masyarakat dan para filsuf zaman itu karena mereka bersikap menerima begitu saja menerima perkataan para filsuf pendahulunya yang belum tentu benar. Ia menganjurkan agar menerima pemikiran para filsuf dan ajaran gereja dengan kesangsian. Dengan kesangsian yang dilakukan rasio itulah manusia bisa mencapai kebenaran. Pemikiran Descartes dianggap sebagai tonggak lahirnya filsafat modern dan berpengaruh besar terhadap. Selain itu Descartes memandang alam sebagai suatu mesin besar yang dapat dipilah-pilah (dianalisis). Pandangan ini mempengaruhi lahirnya ilmu pengetahuan alam. Tokoh yang  dianggap menunjukkan bukti pandangan bahwa alam bersifat mekanistis adalah Newton.

5. Tahap Perkembangan Ilmu Pengetahuan Alam
Tahap ini diiringi oleh kebangkitan fisikawan. Dengan mengadopsi pandangan alam yang mekanistis dari Descartes, Newton melakukan serangkaian penelitian yang menghasilkan satu kerangka pikir yang daianggap mampu menjelaskan fenomena-fenomena alam. Pandangan Descartes tentang alam dianggap terbukti pada masa ini. Fisika pun berkembang pesat. Perkembangan fisika mempengaruhi pandangan filsafat dan ilmu sosial. Metode-metode IPA digunakan dalam penelitian filsafat dan ilmu sosial. Metode observasi jadi metode utama di sini, juga dibantu oleh matematika. Dalam ilmu sosial  Francis Bacon yang kemudian disusul oleh Aguste Comte menerapkan metode-metode ilmu pengetahuan alam dalam mengkaji ilmu-ilmu sosial yang melahirkan positivisme.

6. Tahap Analisa Bahasa
Pada abad 20 filsafat memfokuskan kajiannya pada fungsi-fungsi dan proses penggunaan bahasa. Di sini manusia dipandang sebagai animal simbolicum. Pada tahap ini aliran filsafat yang dianggap sebagai aliran utama adalah filsafat analitik. Fungsi-fungsi bahasa yang diteliti mencakup: 1) fungsi kognitif-informatif; 2) fungsi emotif-ekspresif; 3) fungsi direktif-persuasif; dan 4) fungsi performatif-seremonial. Hal yang terlihat jelas pada tahap ini adalah pendekatan linguistik dengan teori strukturalisme dengan tokohnya Ferdinand de Saussure memiliki pengaruh yang besar. Pada tahap ini banyak bidang filsafat dan ilmu dianggap semacam bahasa. Selain itu, semioti (ilmu tentang tanda) juga berpengaruh besar. Pendekatan studi terhadap berbagai ilmu sering dilakukan dengan menggunakan kerangka pikir semiotik. Dalam tahap ini linguistik dan semiotik juga menjadi alat bantu bagi berbagai bidang ilmu dalam mengkaji obeyek-obyek studinya. Misalnya dalam psikologi dan kedokteran, lingusitik dan semiotik membantu mengidntifikasi dan menginterpretasi simptom-simptom yang berupa bahasa atau tanda-tanda nonverbal lainnya.

7.  Tahap Postmodernisme
Istilah posmodernisme sulit untuk didefinisikan. Dalam kesempatan ini postmodernisme digunakan untuk merujuk pada satu kondisi bukan suatu aliran filsafat. Tahap posmodernisme ditandai oleh keraguan terhadap cerita-cerita besar atau metanarasi (Lyotard, 1984). Yang dimaksud dengan narasi besar (grand narrative) adalah wacana-wacana yang dianggap baku seperti filsafat Hegel, Kant, Marx, dan sebagainya. Narasi besar juga dirujukkan kepada konsep-konsep seperti “keabsahan, kemajuan, emansipasi kaum proletar, perjuangan kelas, roh absolut, religi” dan sebagainya. Ahmed (1996) mencoba menunjukkan 8 (delapan) ciri posmodernisme:

1) Hilangnya kepercayaan terhadap proyek modernitas; munculnya semangat pluralitas, skeptisisme terhadap ortodoksi tradisional dan penolakan terhadap pandangan bahwa dunia adalah sebuah totalitas universal. Posmodernisme juga dicirikan oleh penolakan terhadap pendekatan yang percaya pada harapan akan adanya solusi akhir dan jawaban sempurna.

2) Posmodernisme muncul bersamaan dengan era media. Pada masa ini  dalam banyak cara yang mendasar media adalah dinamika sentral, ciri pendefinisi (pembatas) dari posmodernisme.

3) Munculnya kembali pendekatan-pendekatan etno-religius atau fundamentalisme. Karena keabsahan pendekatan ilmiah diragukan dan dianggap sama saja dengan mitos atau kepercayaan non-ilmiah, maka pendekatan-pendekatan non-ilmiah pun memiliki hak hidup dan berkembang yang sama dengan pendekatan ilmiah.

4)  Kontinuitas dengan masa lalu ditandai dengan kritik yang tajam dan pedas terhadap modernitas. Postmodernitas oleh beberapa ahli filsafat dianggap mencerminkan krisis yang dialami oleh modernisme.


5) Metropolis (daerah perkotaan) menjadi pusat sentral bagi postmodernisme.
     
6) Terdapat elemen kelas dalam postmodernisme dan demokrasi adalah syarat mutlak bagi pengembangannya. Namun kelas yang ada tidak dilihat sebagai tingkatan lebih tinggi atau lebih rendah. Perbedaan kelas dianggap sebagai sekedar perbedaan tidak menunjukkan bobot kualitas tertentu dan tidak mempengaruhi derajat kekuasaan.

7) Postmodernisme memberikan peluang bahkan mendorong kesetaraan wacana, penggabungan berbagai pemikiran dan kepercayaan, dan pencampuran berbagai citra. Misalnya pemikiran tradisional disetarakan dengan pemikiran modern, unsur-unsur  Timur dipadu dengan unsur Barat, das sebagainya.

8) Mencuatnya jargon-jargon dan istilah-istilah yang memiliki pengertian rumit, penggunaan bahasa yang kompleks, dan seringnya mengabaian bahasa dan ide yang sederhana. Penjelasan-penjelasan yang ditampilkan para filsuf postmodernisme seringkali rumit dan sulit dimengerti karena mereka sering menggunakan istilas baru buatan mereka sendiri (neologisme). Tokoh-tokoh filsafat yang dianggap mewakili posmodernisme diantaranya Michel Foucault, Jacques Derrida, dan Jean-Francois Lyotard.
      
Edisi : Karakter / Ciri-Ciri Berpikir Dalam Filsafat

A. Karakter Filsafat
Dalam memahami suatu permasalahan, ada perbedaan tentang karakteristik dalam berfikir antara filsafat dengan ilmu-ilmu lain. Mudhofir dalam Muntasyir&Munir (2002: 4-5) mengatakan bahwa ciri-ciri berfikir kefilsafatan sebagai berikut :
  1. Radikal,  berasal dari kata radix yang berarti akar. Sifat radikal di sini artinya mengakar (bisa juga mendalam). Pemahaman yang radikal adalah pemahaman yang mengakar. Dalam berfilsafat, hal yang hendak dipelajari digali sampai ke akar-akar sehingga pemahaman tentang hal itu menyeluruh dan mendalam. Kegiatan memahami sesuatu secara mengakar/mendalam biasa disebut refleksi artinya berpikir sampai ke akar-akarnya, hingga sampai pada hakikat atau substansi yang dipikirkan.\
  2. Rasional artinya menggunakan akal pikiran dan hukum-hukum  logika tertentu yang masuk akal. Pemikiran filsafat merupakan hasil kegiatan berpikir bukan wahyu atau wangsit. Jika seorang filsuf mengemukakan buah pikiran yang rasional tentang suatu hal, maka orang lain dapat memahaminya dengan meenggunakan pikirannya. Setiaporang yang melakukan kegiatan berpikir tentang hal itu akan memperoleh hasil yang dicapai oleh filsuf itu.
  3. Kritis artinya tidak begitu saja menerima atau menolak suatu informasi atau pengetahuan. Pemahaman yang kritis menyertakan upaya klarifikasi setiap hasil pemikiran secara hati-hati, melakukan pengecekan dan uji coba pemahaman, dan evaluasi yang menyeluruh terhadap hasil pemikiran, baik pemikiran sendiri maupun pemikiran orang lain.
  4. Sistematis artinya mengikuti satu aturan tertentu, memiliki alur proses yang jelas meliputi: masukkan (input), pemrosesan input, dan hasil/keluaran (ouput) atau pendapat yang merupakan uraian kefilsafatan itu harus saling berhubungan secara teratur dan terkandung adanya maksud atau tujuan tertentu
  5. Universal, artinya pemikiran filsafat menyangkut pengalaman umum manusia. Kekhususan berpikir kefilsafatan menurut Jespers terletak pada aspek keumumannya.
  6. Konseptual, artinya merupakan hasil generalisasi dan abstraksi pengalaman manusia. Misalnya : Apakah Kebebasan itu ?
  7. Koheren atau konsisten (runtut). Koheren artinya sesuai dengan kaidah-kaidah berpikir logis.
  8. Konsisten artinya tidak mengandung kontradiksi.
  9. Komprehensif, artinya mencakup atau menyeluruh. Berpikir secara kefilsafatan merupakan usaha untuk menjelaskan alam semesta secara keseluruhan.
  10. Bebas, artinya sampai batas-batas yang luas, pemikiran filsafati boleh dikatakan merupakan hasil pemikiran yang bebas, yakni bebas dari prasangka-prasangka sosial, historis, kultural, bahkan relijius.
  11. Bertanggungjawab, artinya seseorang yang berfilsafat adalah orang-orang yang berpikir sekaligus bertanggungjawab terhadap hasil pemikirannya, paling tidak terhadap hati nuraninya sendiri..

B. Pembagian Filsafat
Secara umum berdasarkan obyek kajiannya filsafat dibagi menjadi 3 (tiga) bidang yaitu 1) bagian filsafat yang mengkaji tentang ‘ada’ (being), 2) bidang filsafat yang mengkaji pengetahuan (epistemologi dalam arti luas), dan 3) bidang filsafat yang mengkaji nilai-nilai yang menentukan apa yang seharusnya dilakukan manusia (axiologi). Masing-masing bidang memiliki cabang-cabangnya.

1.   Bagian Filsafat yang mengkaji tentang Ada (Being)
Bidang kajian filsafat tentang ‘ada’ (being) dibagi dua menjadi 1) ontologi dan 2) metafisika. Ontologi mengkaji ‘ada’ yang keberadaannya tidak disangsikan lagi. Dalam ontologi kita berfilsafat tentang sesuatu yang keberadaannya dipersepsi secara fisik dan tertangkap oleh indra. Sedangkan metafisika mengkaji ‘ada’ yang masih disangsikan kehadirannya. Metafisika berhubungan dengan obyek-obyek yang tidak dapat dijangkau secara inderawi karena obyek itu melampaui sesuatu yang bersifat fisik. Secara fisik ‘ada’ itu tidak tampak namun oleh sebagian orang dianggap ada, misalnya jiwa, ilusi, eksistensi Tuhan, dan sebagainya.

2.   Bidang Filsafat Yang Mengkaji Pengetahuan (Epistemologi dalam arti luas).
Bidang filsafat ini menjadikan pengetahhuan sebagai obyek kajiannya.Beberapa ahli filsafat menyebut bidang ini sebagai epistemologi namun dalam arti luas, yaitu dalam arti bidang yang mengkaji seluruh pengetahuan yang mungkin diperoleh manusia mulai dari asal-usulnya, bagaimana cara mendapatkannya, sampai pengujian benar-salahnya. Dalam bidang ini terdapat 4 (empat) cabang filsafat 1) epistemologi dalam arti sempit, 2) filsafat ilmu, 3) metodologi, dan 4) logika.
a.   Epistemologi dalam arti sempit
Epistemologi dalam arti sempit merupakan cabang filsafat yang mengkaji hakekat pengetahuan yang ditelusuri melalui 4 pokok, yaitu 1) sumber pengetahuan, 2) struktur pengetahuan, 3) keabsahan pengetahuan, dan 4) batas-batas pengetahuan. Pengetahuan di sini adalah pengetahuan umum/pengetahuan sehari-hari (knowledge) atau pengetahuan yang berguna bagi manusia secara praktis (eksistensial pragmatis).
b.   Filsafat Ilmu Pengetahuan
Filsafat ilmu pengetahuan merupakan cabang filsafat  yang mengkaji ciri-ciri dan cara-cara memperoleh ilmu pengetahuan (science). Pengetahuan yang dikaji berbeda dengan pengetahuan pada epistemologi dalam arti sempit. Dalam filsafat ilmu pengetahuaan, yang menjadi obyek adalah pengetahuan ilmiah atau ilmu pengetahuan (science). Berbeda dengan pengetahuan sehari-hari (knowledge), pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang sistematis, diperoleh dengan menggunakan metode-metode tertentu, logis dan teruji kebenarannya.
c.   Metodologi
Metodologi adalah cabang filsafat yang mengkaji cara-cara dan metode-metode ilmu pengetahuan memperoleh pengetahuan secara sistematis, logis, sahih (valid), dan teruji. Di sini cara dan metode ilmu pengetahuan dikaji sejauh mana kesahihannya dalam kegiatan menemukan ilmu pengetahuan. Di dalamnya termasuk juga kritik dan upaya pengujian keabsahan cara kerja dan metode ilmu pengetahuan. Selain mengkaji cara-cara dan metode-metode yang sudah ada, dalam metodologi dikaji pula kemungkinan-kemungkinan cara dan metode baru.
d.   Logika
Logika adalah ilmu yang mempelajari teknik-teknik dan kaidah-kaidah penalaran yang tepat. Yang menjadi satuan penalaran dalam logika adalah argumen. Penalaran berlangsung lewat argumen sebagai kelompok proposisi. Proposisi tersusun dari premis ke konklusi lewat penyimpulan. Logika berkaitan dengan filsafat ilmu dan metodologi ilmu. Proposisi adalah pernyataan untuk mengiyakan/menyangkal sesuatu yang dapat diujicoba, di dalamnya termasuk bahasa kognitif. Proposisi terdiri dari pokok yang dibicarakan (subyek), apa yang disangkal/diiyakan (predikat), dan hubungan yang sifatnya menyatukan atau memisahkan (kopula).Secara umum ada dua jenis argumen: 1) induktif dan 2) deduktif.  Argumen induktif bergerak dari premis-premis khusus ke kesimpulan/premis umum. Argumen deduktif bertolak dari premis umum ke premis/kesimpulam khusus. Induksi menghasilkan pengetahuan yang tidak niscaya, melainkan boleh jadi. Kadar kebolehjadiannya dapat diukur lewat statistik.

3.  Bidang filsafat yang mengkaji nilai-nilai yang menentukan apa yang seharusnya dilakukan manusia (Axiologi)
Axiologi adalah bidang filsafat yang mencoba menjawab pertanyaan “Apa yang dilakukan manusia dan apa yang seharusnya dilakukan manusia?” Di sini kita bicara tentang nilai-nilai (kata axiologi sendiri dapat diartikan sebagai nilai-nilai yang menjadi sumbu perilaku penghayatan dan pengamalan manusia). Axiologi mengkaji pengalaman dan penghayatan dari perilaku-perilaku manusia. Di dalamnya dibahas tentang nilai apa yang berkaitan dengan kebaikan dan apakah itu perilaku baik. Selain itu juga dibicara tentang nilai rasa manusia yang dikaitkan dengan keindahan. Cabang filsafat yang termasuk dalam axiologi adalah etika dan estetika.
a.   Etika
Etika adalah cabang filsafat yang mengkaji nilai apa yang berkaitan dengan kebaikan dan apakah itu perilaku baik. Cabang ini meliputi apa dan bagaimana hidup yang baik, menjadi orang yang baik, berbuat baik, dan menginginkan hal-hal yang baik dalam hidup.Kata etika menunjuk dua hal. Pertama: disiplin ilmu yang mempelajari nilai-nilai dan pembenarannya. Kedua: pokok permasalahan disiplin ilmu itu sendiri yaitu nilai-nilai hidup manusia yang sesungguhnya dan hukum-hukum tingkah laku manusia (Solomon, 1987). Dalam etika kita juga mempelajari moralitas dan alasan-alasan yang lebih abstrak mengapa manusia berbuat dan tidak berbuat sesuatu.. Etika bukanlah sekedar kumpulan perintah dan larangan (‘harus’ dan ‘jangan’) tetapi merupakan satu sistem nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang terpadu secara teratur untuk mencapai masyarakat yang berbudaya dan hidup bahagia.
2.   Estetika
Estetika mengkaji pengalaman dan penghayatan manusia dalam menanggapi apakah sesuatu itu indah atau tidak. Jadi estetika membahas soal-soal keindahan yang dipersepsi oleh manusia.

 Metode Filsafat

A. Pengantar
Kata metode berasal dari kata methodos. Methodos berarti penelitian, hipotesa ilmiah dan uraian ilmiah. Maka dapat dikatakan bahwa metode adalah cara kerja yang sistematis yang digunakan untuk memahami suatu objek yang dipermasalahkan atau realitas yang dianalisa.
Metode, sejak awal, merupakan instrumen utama dalam proses dan perkembangan ilmu pengetahuan sejak dari awal suatu penelitian hingga mencapai pemahaman baru dan kebenaran ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Metode yang benar dan sah akan menjamin kebenaran yang benar dan sah pula. Maka tidak mengherankan apabila setiap cabang ilmu pengetahuan mengembangkan metodologi yang sesuai dengan objek penelitiannya. Keharusan metodis adalah keniscayaan dalam pencapaian pengetahuan. Tapi metodologi bisa berbeda bagi setiap bidang ilmu pengetahuan.

B. METODE FILSAFAT
Metode dan Objek Filsafat. Dalam filsafat, metode dan objek formal filsafat tidak terpisahkan. Masing-masing aliran filsafat menentukan objek formalnya. Dengan demikian, aliran filsafat menentukan metode dan logikanya sendiri. Setiap aliran filsafat mempunyai kemandirian dalam bidang ilmiahnya. Kemandirian itu menyebabkan bahwa filsafat menjelaskan, mempertanggungjawabkan dan membela metode yang dipakainya. Filsafat mengajukan claims of discovery of the correct method. Tapi di pihak lain sering kali ada perbedaan mendasar antara apa yang benar-benar dikerjakan seorang filsuf, dan tuntutan metodologisnya.

Pemakaian metode ilmiah umum. Meskipun filsafat mempunyai metodenya sendiri, dengan sendirinya filsafat memakai unsur-unsur metode umum. Setiap paham filsafat menerapkan unsur metodologi umum ini menurut caranya sendiri. Ada beberapa tekanan yang nampak dalam paham filsafat. Segi subjektif: rasionalisme, pragmatisme, fenomenologi, positivisme, empirisme. Segi objektif: realisme, idealisme, materialisme, monisme dan lainnya.
Metode-metode Filsafat. Dalam sejarah filsafat, banyak metode yang telah dikembangkan. Beberapa metode filsafat yang sempat tercatat dalam sejarah filsafat adalah sebagai berikut.

1. METODE REDUCTIO AD ABSURDUM
Metode ini dikembangkan oleh Zeno, salah seorang murid Parmenides. Zeno sering disebut sebagai Bapak Metafisika Barat yang pertama. Metode ini adalah metode yang ingin meraih kebenaran, dengan membuktikan kesalahan premis-premis lawan, yang caranya dengan mereduksi premis lawan menjadi kontradiksi sehingga kesimpulannya menjadi mustahil. Inilah reductio ad absurdum.

Zeno mengikuti argumentasi Parmenides tentang monisme realitas. Argumentasi Zeno ini dipakai untuk mempertahankan serangan dari ide pluralisme. Zeno mengatakan seandainya ada banyak titik yang terdapat di antara titik A dan B, berarti kita harus mengakui adanya titik-titik yang tak terbatas di antara A dan B. Jika titiknya tak terbatas, jarak tak terbatas antara A dan B tidak mungkin tercapai. Tapi jika ada orang yang bisa berjalan dari A ke B, itu berarti jarak A dan B dapat dilintasi. Jika A ke B bisa dilintasi berarti jarak A dan B terbatas. Jadi jika kita menarik hipotesis mula yang mengatakan bahwa ada banyak titik yang terdapat di antara titik A dan titik B adalah salah. Maka, pluralitas adalah absurd, mustahil dan tidak masuk akal.
Parmenides pernah mengatakan bahwa tidak ada ruang kosong, yang berarti bahwa yang ada tidak berada dalam ada yang lain karena yang ada pasti mengisi seluruh tempat. Zeno melengkapi argumentasi itu dengan pernyataan: jika ada ruang kosong, ruang kosong itu berada dalam ruang kosong yang lain dan ruang kosong yang lain itu berada dalam ruang kosong yang lain pula dan seterusnya sampai tak terbatas. Itu artinya akan ada senantiasa ruang dalam ruang. Oleh karena itu, jika dikatakan bahwa yang ada berada dalam ada yang lain, jelas bahwa pernyataan itu tidak benar. Yang benar adalah yang ada tidak berada dalam ada yang lain. Tegasnya, ruang kosong itu tidak mungkin berada dalam ruang kosong yang lain karena yang ada itu senantiasa mengisi seluruh tempat sehingga hipotesis yang mengatakan bahwa ruang kosong itu ada adalah suatu yang mustahil.
Zeno menambahkan jika ruang kosong itu tidak ada, berarti gerak tidak ada. Ini karena jika dikatakan bahwa gerak itu ada, berarti bahwa ruang kosong harus ada karena gerak dimungkinkan jika ada ruang kosong. Zeno membuktikan hal itu dengan empat contoh terkemuka: dikotomi paradoks, Akhiles - si pelari, Anak panah dan Benda yang bergerak bertentangan.

Metode Zeno ini memberikan nilai abadi bagi filsafat karena tidak ada pernyataan yang melahirkan pertentangan yang dianggap benar. Hukum tidak ada pertentangan ini merupakan prinsip fundamental dalam logika. Metode Zeno ini berguna dalam orasi dan perdebatan yang rasional dan logis. Zeno adalah orang pertama yang juga menggunakan metode dialektik, dalam arti bahwa orang mencari kebenaran lewat perdebatan dan bersoal secara sistematis.

2. METODE MAIEUTIK DIALEKTIS KRITIS INDUKTIF
Metode Maieutik dikembangkan oleh Sokrates. Dalam sejarah filsafat Yunani, Sokrates adalah salah satu filsuf yang terkemuka. Hanya sayang, dia tidak pernah meninggalkan bukti otentik yang bisa dianggap sebagai karya asli Sokrates. Karya Sokrates didapatkan dari beberapa karya Plato dan Aristoteles. Tapi pemikiran Sokrates yang berhasil direkam hanya bisa dilihat dari karya Plato, terutama dalam dialog-dialog yang pertama, yang sering disebut dengan dialog Sokratik.

Pemikiran Sokrates berpusat pada manusia. Refleksi filosofis Sokrates berangkat dari kehidupan sehari-hari. Jadi, menurut Sokrates melihat bahwa kehidupan sehari-hari sebagai kebenaran objektif. Sokrates dalam filsafatnya menolak subjektivisme dan relativisme aliran sofisme. Kebenaran objektif yang dicapai bukan sekedar didapatkan dari pengetahuan teoritis tapi justru dari kebajikan manusia. Filsafat Sokrates adalah upaya untuk mencapai kebajikan. Kebajikan harus nampak dan mengantar manusia kepada kebahagiaan sejati. Jadi, pengetahuan dan kebenaran objektif selalu menghasilkan tindakan yang benar secara objektif pula. Dan, disitulah kebahagiaan sejati dapat diraih.

Untuk mencapai objektivitas maka diperlukan metode yang sesuai. Sokrates percaya bahwa pengetahuan akan kebenaran objektif itu tersimpan dalam jiwa setiap orang sejak masa praeksistensinya. Oleh sebab itu, filsafat Sokrates tidsak mengajarkan kebenaran tapi hanya menolong orang mencapai kebenaran. Filsafat menolong manusia melahirkan kebenaran seperti layaknya ibu melahirkan bayinya. Maka, tugas filsafat adalah tugas untuk menjadi bidan yang menolong manusia melahirkan kebenaran. Metode itu disebut dengan metode teknik kebidanan (maieutika tekhne).

Metode kebidanan ini diperoleh dengan percakapan (konversasi). Sokrates selalu berfilsafat justru dalam percakapan. Lewat percakapan, Sokrates melihat ada kebenaran-kebenaran individual yang bersifat universal. Sampai taraf tertentu, percakapan ini akan menghasilkan persepsi induktif yang nantinya akan dikembangkan oleh filsuf yang lain.
Dalam dialog, Sokrates melibatkan diri secara aktif dalam memanfaatkan argumentasi rasional dengan analisis yang jelas atas klasifikasi, keyakinan dan opini yang melahirkan kebenaran. Percakapan kritis ala Sokrates bisa membimbing manusia untuk bisa memilah dan menemukan kebenaran yang sesungguhnya.

Metode percakapan kritis yang dilakukan Sokrates juga disebut dengan metode dialektis. Sementara yang lain, beranggapan bahwa metode dialektis bisa disebut dengan metode interogasi.

3. METODE DEDUKTIF SPEKULATIF TRANSENDENTAL
Metode ini dikembangkan oleh Plato, murid dari Sokrates. Plato meletakkan titik refleksi pemikiran filosofisnya pada bidang yang luas, yaitu ilmu pengetahuan. Dari sekian banyak cabang ilmu pengetahuan, Plato menitikberatkan perhatiannya pada ilmu eksakta. Dari titik refleksi filosofis ini lahirlah penalaran deduktif yang terlihat jelas melalui argumentasi-argumentasi deduktif yang sistematis.
Dasar seluruh filsafat Plato adalah ajaran ide. Ajaran ide Plato ini melihat bahwa idea adalah realitas yang sejati dibandingkan dengan dunia inderawi yang ditangkap oleh indera. Dunia idea adalah realitas yang tidak bisa dirasa, dilihat dan didengar. Idea adalah dunia objektif dan berada di luar pengalaman manusia. Pengetahuan adalah ingatan terhadap apa yang telah diketahui di dunia idea. Sistem pengetahuan Plato semacam ini bersifat transendental spekulatif.

4. METODE SILOGISME DEDUKTIF
Metode ini dikembangkan oleh Aristoteles. Aristoteles menyatakan bahwa ada dua metode yang dapat digunakan untuk menarik kesimpulan yang benar, yaitu metode induktif dan deduktif. Induksi adalah cara menarik kesimpulan yang bersifat umum dari hal yang khusus. Deduksi adalah cara menarik kesimpulan berdasarkan dua kebenaran yang pasti dan tak diragukan lagi. Induksi berawal dari pengamatan dan pengetahuan inderawi. Sementara, deduksi terlepas dari pengamatan dan pengetahuan inderawi.

Aristoteles dalam filsafat Barat dikenal sebagai Bapak Logika Barat. Logika adalah salah satu karya filsafat besar yang dihasilkan oleh Aristoteles. Sebenarnya, Logika tidak pernah digunakan oleh Aristoteles. Logika dimanfaatkan untuk meneliti argumentasi yang berangkat dari proposisi-proposisi yang benar, yang dipakainya istilah analitika. Adapun untuk meneliti argumentasi-argumentasi yang bertolak dari proposisi-proposisi yang diragukan kebenarannya, dipakainya istilah dialektika.

Inti logika adalah silogisme. Silogisme adalah alat dan mekanisme penalaran untuk menarik kesimpulan yang benar berdasarkan premis-premis yang benar adalah bentuk formal penalaran deduktif. Deduksi, menurut Aristoteles, adalah metode terbaik untuk memperoleh kesimpulan untuk meraih pengetahuan dan kebenaran baru. Itulah metode silogisme deduktif.
Silogisme adalah bentuk formal deduksi. Silogisme mempunyai tiga proposisi. Proposisi pertama dan kedua disebut premis. Proposisi ketiga disebut kesimpulan yang ditarik dari proposisi pertama dan kedua. Tiap proposisi mempunyai dua term. Maka, setiap silogisme mempunyai enam term. Karena setiap term dalam satu silogisme biasa disebut dua kali, maka dalam setiap silogisme hanya mempunyai tiga term. Apabila proposisi yang ketiga disebut kesimpulan, maka dalam proposisi yangketiga terdapat dua term dari ketiga term yang disebut tadi. Yang menjadi subjek konklusi disebut term minor. Predikat kesimpulan disebut term mayor. Term yang terdapat pada dua proposisi disebut term tengah.
Pola dan sistematika penalaran silogisme-deduktif adalah penetapan kebenaran universal kemudian menjabarkannya pada hal yang lebih khusus.

5. METODE INTUITIF-KONTEMPLATIF MISTIS
Metode ini berkembang dengan ide Plotinos dengan ajaran Neo-Platonisme. Filsafat Plotinos adalah kulminasi dan sintesa definitif aneka ragam filsafat Yunani. Filsafat Plotinos mengambil ide dasar pemikiran Plato. Pemikiran Plato mengenai ide kebaikan sebagai ide yang tertinggi dalam dunia ide. Tetapi, tidak berarti pemikiran Plotinos tidak murni.
Ide kebaikan dalam ajaran Plotinos disebut sebagai to hen (yang esa/the one). Yang Esa meruapakan yang awal atau yang pertama, yang paling baik, yang paling tinggi dan yang kekal. Yang esa tidak dapat dikenali oleh manusia karena hal itu tidak dapat dibandingkan atau disamakan dengan apa pun juga. Yang Esa merupakan pusat daya dan pusat kekuatan. Seluruh realitas memancar keluar dari pusat itu. Proses pancaran dari To Hen disebut Emanasi. Meskipun melalui proses emanasi, eksistensi Yang Esa tidak berkurang atau berubah.

Pancaran pertama, menurut Plotinos, disebut nous. Nous disebut juga budi, roh, atau akal. Nous berada paling dekat dengan To Hen. Nous adalah gambaran atau bayangan To Hen. Setelah nous muncul apa yang disebut dengan psykhe atau jiwa. Psykhe terletak di perbatasan antara nous dan materi. Psykhe adalah penghubung antara roh dan materi. Jadi dapat dikatakan pula bahwa psykhe adalah penghubung dan penggabungan antara yang rohani dengan yang jasmani. Psykhe kemudian disusul oleh Me On atau materi/zat sebagai aliran lingkaran ketiga. Me On hanya merupakan potensi atau suatu kemungkinan bagi perwujudan suatu keberadaan dalam suatu bentuk. Psykhe bertemu dengan materi menghasilkan tubuh, yang pada hakikatnya berlawanan dengan nous dan To Hen.
Perlawanan dalam tubuh ini menghasilkan penyimpangan. Ini berarti penyimpangan terhadap kebenaran. Untuk kembali kepada kebenaran maka manusia harus kembali kepada To Hen dan menyatu dengannya. Inilah yang menjadi tujuan manusia. Jika dalam proses emanasi, manusia meninggalkan terang dan kebenaran mutlak masuk ke dalam kegelapan mutlak. Maka untuk mencapai kebenaran dan terang mutlak, manusia harus menempuh jalan kontemplasi. Kontemplasi merupakan jalan pembersihan untuk bersatu dengan kebenaran mutlak. Manusia harus berani berpikir sebaliknya, yaitu tidak memikirkan hal inderawi. Hal inderawi menjadi penghalang dalam proses pemersatuan manusia dengan To Hen. Kontemplasi adalah proses pembersihan jiwa manusia yang merupakan kondisi bagi kesatuan mistis dengan To Hen.

Filsafat Plotinos tidak berhenti pada ajaran. Tapi ajaran Plotinos mengarah pada suatu cara hidup. Ini berarti bahwa ajaran Plotinos tidak berhenti pada masalah benar tidaknya ajaran yang disampaikan tapi lebih dari itu, ajaran Plotinos harus mengarah pada suatu sikap hidup yang tidak terikat pada hal duniawi. Itulah sebabnya ajaran Plotinos sering disebut ajaran yang kontemplatif-mistis.

7. METODE SKOLASTIK: SINTETIS-DEDUKTIF
Filsafat Skolastik menemukan puncak kejayaannya waktu Thomas Aquinas menjadi filsuf pokoknya. Filsafat skolastik dikembangkan dalam sekolah-sekolah biara dan keuskupan. Para filsuf skolastik tidak memisahkan filsafat dari teologi kristiani. Jadi dapat dikatakan bahwa filsafat integral dalam ajaran teologi.
Gaya filsafat abad pertengahan adalah sintesa ajaran filsafat sebelumnya. Sistem skolastik mengarah pada jalan tengah ekstrem-ekstrem ajaran filsafat waktu itu. Sintesa filsafat skolastik terdiri dari ajaran neoplatonis, ajaran Agustinus, Boetius, Ibn Sina, Ibn Rushd dan Maimonides. Selain ajaran-ajaran di atas, aliran filsafat pokok yang dianut oleh filsuf skolastik, terutama Thomas Aquinas adalah filsafat Aristotelian. Filsafat Aristoteles memberikan perspektif baru mengenai manusia dan kosmos. Thomas Aquinas mendasarkan filsafatnya pada filsafat Aristotelian terutama dalam ajaran potentia dan actus.

Prinsip metode skolastik adalah sintesis-deduktif. Prinsip ini menekankan segi yang sebenarnya terdapat pada semua filsafat dan ilmu. Prinsip deduktif adalah prinsip awal dari filsafat skolastik. Bertitik tolak dari prinsip sederhana yang sangat umum diturunkan hubungan-hubungan yang lebih kompleks dan khusus. Di dunia barat sudah lama dikenal prinsip logika Aristoteles. Prinsip logika ini diintegrasikan dengan prinsip ajaran neoplatonis dan agustinian. Prinsip aristotelian mengenai nova logica mendapatkan koreksi dan tambahan pada ajaran neoplatonis. Metode-metode itu diinterpretasikan dengan cara dan gaya lebih baru yang dikembangkan oleh Thomas Aquinas.

Thomas Aquinas pertama-tama mengolah filsafat Aristoteles. Thomas Aquinas mencoba mengkritisi ajaran aristotelian dengan prinsip ajaran tersebut. Thomas menambah problematika filsafat aristotelian. Demikian juga, Thomas memperlakukan filsafat Plato yang diwakili oleh pemikiran Agustinus.

Pemikiran Thomas Aquinas selalu mengarah bahwa pemikiran filosofis ditetapkan oleh evidensi. Inilah sebabnya pemikiran Thomas tidak selalu bersifat kompilatif dan eklektisisme tapi mengarah pada otonomi pemikiran. Thomas dalam epistemologinya menyebutkan bahwa semua pengertian manusia selalu melalui pencerapan. Ini berarti bahwa pada suatu saat pemikiran Thomas juga bersifat mengandalkan kenyataan inderawi. Landasan pemikiran Thomas selalu mengandaikan pengamatan inderawi yang bersifat pasti dan sederhana. Maka sering pula pemikiran Thomas bersifat reflektif-analitis. Pengamatan dan analisa fakta-fakta adalah dasar kuat bagi sintesa Thomas Aquinas.

8. METODE SKEPTISISME
Metode Skeptisisme ini dikembangkan oleh Rene Descartes. Dalam bidang matematika, Rene Descartes memadukan prinsip geometri dan aritmatika dengan menggunakan prinsip rumus aljabar yang kemudian dikenal dengan koordinat kartesian.

Awal filsafat Descartes adalah kebingungan. Filsafat begitu beragam dan dianggap Descartes sebagai ilmu yang simpang siur serta penuh dengan kontradiksi. Dalam kebingungannya, Descartes merasa harus berbuat lebih untuk penyempurnaan filsafat. Ia mencoba menyusun ilmu induk yang mengatasi seluruh ilmu pengetahuan dengan metode ilmiah yang bersifat umum dan cocok digunakan dalam segala ilmu. Logika Aristoteles tidak bermanfaat karena lewat logika itu tidak tercapai pengetahuan yang baru. Descartes mencoba untuk melepaskan diri dari ajaran-ajaran tradisional agar ia bisa memperbaharui filsafat dan ilmu pengetahuan.

Descartes menulis dua buku monumental, yaitu Discourse on Method dan Meditations. Dalam dua buku itu, Descartes membentangkan prinsip-prinsip filsafatnya. Penjelasan Descartes dimulai dengan prinsip keraguan atau kesangsian kartesian. Sebuah pengetahuan baru adalah pengetahuan yang kebenarannya tidak dapat diragukan. Pengetahuan sejati dimulai dari kepastian. Titik tolak pengetahuan yang benar adalah titik pengetahuan yang tidak dapat diragukan atau disangsikan. Dasar pengetahuan adalah kepastian. Kepastian itu adalah kondisi tak bersyarat dan tidak tergantung dari hal yang dipelajari dan dialami karena segala sesuatu yang dipelajari dan dialami sewaktu-waktu dapat berubah. Perubahan menandakan ketidakpastian. Kepastian hal yang benar-benar pasti dan ada dapat dicapai dengan meragukan dan menyangsikan segala sesuatu. Bila sesuatu itu bisa bertahan atas segala keraguan radikal maka sesuatu itu bisa disebut dengan kebenaran yang pasti. Inilah yang disebut dengan kebenaran filsafat yang pertama dan terutama.

Setelah meragukan segala sesuatu, Descartes menemukan ada satu hal yang tak dapat diragukan lagi, saya yang sedang menyangsikan semua hal, sedang berpikir, dan jika saya sedang berpikir itu berarti tidak dapat diragukan lagi bahwa saya pasti ada. Maka muncullah istilah Je Pense, donc Je Suis. Descartes berpendapat manusia harus menjadi titik berangkat pemikiran yang rasional. Untuk mencapai kebenaran, rasio harus berperan semaksimal mungkin. Maka dapat dikatakan pemikiran Descartes sangat bersifat rasional. Analisa konseptual diidentifikasikan lebih dahulu elemen-elemen sederhana. Analisa identifikasi tersebut disintesakan dengan suatu pemahaman struktur realitas dengan memahami hubungan yang perlu di dalam elemen-elemen tersebut yang harus berdiri satu terhadap yang lainnya. Pemanfaatan metode ini menghasilkan desakan ketidakpastian hingga ke batas yang paling akhir dengan membuat keterangan atau fakta yang menopang keyakinan-keyakinan yang telah diterima selama itu menjadi sasaran kritik yang paling tidak kenal kompromi dan menangguhkan setiap pendapat kendati tidak masuk akal tapi sedikit banyak mengandung suatu yang rasional meragukan.

9. METODE KRITIS-TRANSENDENTAL
Metode kritis transendental dikembangkan oleh Immanuel Kant. Filsafat Kant adalah titik tolak periode baru bagi filsafat barat. Ia mensintesakan dan mengatasi aliran rasionalisme dan empirisme. Di satu pihak, ia mempertahankan objektivitas, universalitas dan kepercayaan akan pengertian, dan di lain pihak ia menerima bahwa pengertian bertolak dari fenomena dan tidak dapat melebihi batas-batasnya. Filsafat Kant menekankan pengertian dan penilaian manusia, bukan dalam aspek psikologis melainkan sebagai analisa kritis. Objektivitas menyesuaikan diri dengan pengertian manusia.

Metode Kant menerima pengertian tertentu yang objektif. Analisa kritis Kant dapat dibedakan dari analisa psikologis yang empirik, analisa logis yang memperlihatkan unsur-unsur isi pengertian satu sama lain, analisa ontologis yang meneliti realitas menurut adanya dan analisa kriteriologis yang hanya menyelidiki relasi formal antara kegiatan subjek sejauh ia mengartikan dan menilai hal tertentu, dan objek sejauh itu merupakan fenomena yang ditanggapi.

Metode Kant berpangkal dari keraguan atas kemungkinan dan kompetensi metafisika. Kant meletakkan pengertian dalam dua bagian besar, yaitu pengertian analitis yang selalu apriori, pengertian sintetis yang bersifat korelatif dan inspiratif. Metode Kant juga berpangkal pada pertanyaan metodis mengenai dasar objektivitas pengertian. Dasar rasional objektivitas pengertian memakai dasar analisa transendental. I. Kant menganalisa manakah syarat-syarat minimal yang dengan mutlak harus dipenuhi dalam subjek, supaya memungkinkan objektivitas itu. Analisa itu disebut deduksi metafisis.

10. METODE IDEALISME-DIALEKTIS
Metode dialektis dikembangkan oleh George Wilhelm Friedrich Hegel. Hegel melawan ajaran filsafat Descartes dan Spinoza. Jalan pikiran Hegel untuk memahami kenyataan adalah mengikuti gerakan pikiran dan konsep. Struktur dalam pikiran adalah sama dengan proses genetis dalam kenyataan. Antara metode dan sistem atau teori tidak dapat dipisahkan. Dan keduanya adalah kenyataan. Dinamika pemikiran Hegel ini disebut dialektis. Dialektika diungkapkan sebagai tiga langkah, yaitu tesis, anti tesis dan sintesis. Seluruh karya Hegel memperlihatkan gerakan tiga langkah tersebut.
Langkah metodis Hegel dimulai dengan penegasan. Titik tolak Hegel mengambil salah satu pengertian atau konsep yang dianggap jelas. Pengertian dan konsep yang jelas adalah pengertian empiris inderawi. Pengertian tersebut bersifat spontan dan non-reflektif, abstrak, umum, statis dan konseptual. Tapi dalam proses pemikiran, pengertian tersebut mulai kehilangan ketegasannya dan mulai bersifat cair. Maka Hegel mulai pada langkah berikutnya yang biasa disebut pengingkaran.

Langkah pengingkaran adalah usaha mengingkari langkah pertama. Langkah perlawanan itu mencari bentuk alternatif yang bisa ditambahkan dalam pengertian yang dicapai dalam langkah pertama. Maka terjadi proses dialektika pikiran. Konsep atau pengertian yang muncul dalam langkah kedua itu diperlakukan menurut cara yang sama seperti langkah pertama. Setelah menemukan perlawanan konseptual yang berhubungan dengan pengertian pertama maka pengertian dan konsep itu bergerak dinamis.

Dinamika dalam langkah kedua tidak membawa pikiran kembali pada titik pertama. Langkah pertama telah memuat langkah kedua secara implisit (dalam perlawanannya). Jadi dua pengertian konseptual mulai dipikirkan bersama-sama, dan dengan demikian dua konsep itu saling mengisi, memperkaya, memperbaharui. Kedua konsep itu menjadi satu konsep yang lebih padat. Itulah yang disebut langkah sintesis.
Menurut Hegel, perlawanan adalah motor dialektika. Perlawanan adalah jalan atau tahap mutlak yang harus dialami dulu untuk mencapai kebenaran.

11. METODE EKSISTENSIAL
Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang menolak pemutlakan akal budi dan pemikiran konsep abstrak murni. Metode eksistensial berupaya untuk memahami manusia yang berada dalam dunia, yaitu manusia yang berada pada situasi yang khusus dan unik.
Metode eksistensial pertama diungkapkan oleh Kierkegaard. Pemikiran Kierkegaard merupakan reaksi yang terutama tertuju dan bereaksi pada rasionalisme idealis Hegel yang dianggapnya tidak berguna. Dalam filsafat, menurut pemikir eksistensialisme, yang paling penting adalah kebenaran subjektif. Tapi tentu saja tidak berarti setiap keyakinan subjektif adalah kebenaran. Kebenaran selalu bersifat personal dan tidak sekedar proposisional.
Menurut pemikiran eksistensial, kebenaran dicapai dengan partisipasi manusia dalam setiap realitas yang mau diselidiki. Kebenaran hanya dapat ditemukan dalam realitas yang konkret. Secara umum, metode eksistensial adalah kebalikan pemikiran filsafat tradisional. Pemikiran eksistensial selalu menempatkan subjektivitas di atas objektivitas dan nilai lebih perlu daripada fakta.

12. METODE FENOMENOLOGIS
Peletak dasar metode fenomenologis adalah Edmund Husserl. Salah satu pemikir fenomenologis terkenal adalah Martin Heidegger. Fenomenologi berinspirasi pada pembedaan yang dilakukan oleh Immanuel Kant antara noumenal dan phenomenal serta pengembangan kritis teori idealisme Hegel.

Husserl mau menentukan metode filosofis ilmiah yang lepas dari prasangka metafisis. Metode itu harus menjamin filsafat sebagai suatu sistem pengetahuan yang terjalin oleh alasan-alasan sedemikian rupa sehingga setiap langkah berdasarkan langkah sebelumnya secara niscaya.
Pengembangan metode fenomenologis mengarah pada pemusatan perhatian kepada fenomena tanpa praduga. Ungkapan terkenal proses tersebut adalah zu den sachen selbst (terarah kepada benda itu sendiri). Dalam keterarahan ke benda itu, sesungguhnya realitas itu dibiarkan untuk mengungkapkan hakikat dirinya sendiri.

Hakikat fenomena yang sesungguhnya berada di balik yang menampakkan diri. Pengamatan pertama belum tentu sanggup membuat fenomena itu mengungkapkan hakikat dirinya. Karena itu, diperlukan pengamatan kedua yang disebut sebagai pengamatan intuitif. Pengamatan intuitif ini melalui tiga tahap reduksi, yaitu reduksi fenomenologis, eidetis dan transendental.

13. METODE ANALITIKA-BAHASA
Filsafat analitik adalah aliran filsafat yang berasal dari kelompok filsuf yang menyebut diri mereka sebagai Lingkaran Wina. Filsafat analitik menolak metafisika karena mereka berpendapat bahwa metafisika tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Salah satu tokoh filsuf analitik adalah Ludwig Wittgenstein.

Metode yang digunakan para filsuf analitik berbeda satu dengan yang lain. Tapi yang jelas ada dua aliran besar dalam metode analitika yang berkembang sampai sekarang. Kedua metode itu adalah metode verifikasi dan klarifikasi.

Metode verifikasi dikembangkan oleh gerakan positivisme logis. Salah satu tokoh verifikasi adalah A. Y. Ayer (1910-1970). Ayer mencoba untuk mengeliminasi metafisika berdasarkan prinsip verifikasi. Prinsip verifikasi Ayer menyatakan bahwa pernyataan benar-benar penuh apabila pernyataan itu dapat diverifikasikan secara sintetik oleh satu atau lebih dari panca indera manusia. Ayer membagi verifikasi dalam dua dasar, yaitu verifikasi kuat dan verifikasi lemah.

Metode klarifikasi bersumber pada prinsip-prinsip analisa yang dikembangkan oleh Ludwig Wittgenstein. Wittgenstein yakin bahwa kekacauan dalam filsafat bisa diatasi dengan analisis bahasa. Wittgenstein berpendapat bahwa kalau ada pertanyaan yang diajukan maka harus ada jawaban yang tersedia. Tapi tidak semua pertanyaan mempunyai makna. Agar tidak terjebak dalam persoalan filosofis yang tak bermakna maka harus ada peraturan-peraturan yang mendasar dalam bahasa yang terungkap dalam "permainan bahasa". Wittgenstein menyatakan bahwa manusia harus mendengar apa arti yang terkandung dalam suatu ungkapan bahasa. Maka manusia harus menganalisis bentuk hidup hingga dasar terdalam setiap permainan bahasa. Makna ditentukan oleh kata yang digunakan dalam konteksnya. Lewat analisa bahasa, seseorang dapat membuat jelas arti bahasa sebagaimana yang dimaksudkan oleh yang menggunakan bahasa itu. Metode klarifikasi tidak memuat pengandaian filosofis, epistemologis atau metafisis. Analisis bahasa didasarkan semata-mata pada penelitian bahasa secara logis tanpa mendeduksikan sesuatu sehingga pada prinsipnya hanya membuat jelas apa yang dikatakan lewat suatu ungkapan bahasa.  "...bahwa sesuatu metode dipilih mempertimbangkan kesesuaiannya dengan objek studi; kecenderungan untuk menempuh jalan sebaliknya sesungguhnya keliru. Catatan ini ditambahkan di sini khususnya karena adanya kecenderungan yang kuat untuk mengagungkan kuantifikasi terhadap berbagai gejala yang sesungguhnya sukar diukur. Lih. Fuad Hasan dan Koentjaraningrat, "Beberapa Asas Metodologi Ilmiah", Metode-Metode Penelitian Masyarakat, redaktur, Koentjaraningrat (Jakarta: PT Gramedia, 1981), hal. 16-17.






Lih. Edwards (Ed.), The Encyclopedia of Philosophy, hal. 216-218
Zeno membagikan 4 cerita untuk bisa membatalkan argumentasi eksistensi gerak: pelari di stadion - di mana pelari itu sebetulnya tidak akan mungkin mencapai finis karena ketakterbatasan jarak yang ada, Akhiles yang berlomba dengan kura-kura - Akhiles mustahil mengalahkan kura-kura yang lamban tapi ia sudah berlari mendahului Akhiles. Kura-kura selalu bisa mencapai satu langkah di depan Akhiles dalam jarak yang tidak mungkin dikejar oleh Akhiles. Cerita tentang Anak Panah di mana anak panah itu sesungguhnya tidak bergerak tapi hanya diam. Kalaupun anak panah itu bergerak itu sebetulnya hanya gerak semunya saja. Cerita tiga deretan yang berjalan mau mengatakan bahwa deretan yang bergerak selalu bisa menutup ruang kosong sampai keadaan tak terbatas. Lih. Bertens, Kees, Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta:Kanisius, hal.62-64.
Hanya saja kita sering tidak bisa membedakan secara jelas mana yang benar-benar karya Sokrates dengan karya dan pemikiran Plato. Plato begitu mengagumi Sokrates. Secara lengkap pembicaraan tentang karya Plato dan Sokrates bisa dilihat dalam buku Sejarah Filsafat Yunani, tulisan Kees Bertens, Yogyakarta:Kanisius, tahun 1999, hal. 94-128
Dialog Plato terbagi dalam tiga periode: periode dialog awal, dialog pertengahan dan periode terakhir. Dari sekian periode yang ada, periode tengah adalah periode yang produktif. Hal ini disebabkan karena dialog pertengahan menghasilkan enam tema pokok, yaitu: teori ide, sifat cinta, metode dialektika, bentuk dan ide kebaikan, sifat jiwa dan masyarakat ideal. Periode tengah Plato disebut periode spekulasi Plato.
Metode penarikan kesimpulan menurut Aristoteles ini dijabarkan secara panjang lebar dalam ajaran Aristoteles tentang Logika.
Misalnya, partisipasi dalam pemikiran Plato yang dikembangkan oleh Agustinus dimasukkan dalam pola kausalitas, ide platonis dimasukkan dalam kerangka Tuhan.
Perubahan itu terjadi karena memang ada perubahan alami, ada keteraturan dalam kosmos, hidup itu berarti membangunkan diri, benda di sekitar manusia bersifat terbatas.
Kant akan membedakan batas minimal fenomena dalam bidang inderawi yang bersifat reseptif, bidang akal yang berisi bentuk formal fenomena dan bersifat universal, bidang aku transendental yang menyatukan subjek dan objek. Kesatuan subjek dan objek berujud penyatuan bentuk-bentuk dan postulata apriori.
Kant juga menyebutnya dengan istilah deduksi transendental. Metode ini digunakan setelah mendapatkan syarat minimal objektivitas. Metode ini juga memuat hukum yang berlaku secara de facto dan de jure dalam fenomena yang diselidiki sehingga terjadilah pengertian dan penilaian yang sama.
Sebetulnya istilah tesis-anti tesis-sintesis berasal dari Fichte, Hegel sendiri tidak pernah mempergunakan istilah tersebut. Lih., Encyclopedia of Philosophy, hal. 2-387
Reduksi fenomenologis adalah reduksi yang menyaring pengalaman pengamatan pertama yang terarah kepada eksistensi fenomena. Reduksi eidetis adalah reduksi yang berupaya untuk menemukan eidos atau hakikat yang tersembunyi. Oleh sebab itu, reduksi eidetis lebih ketat dibanding reduksi fenomenologis. Reduksi transendental adalah proses penyaringan semua hubungan antara fenomena yang diamati dan fenomena yang lainnya.
Prinsip verifikasi Ayer nampak menyolok dalam bukunya yang berjudul Language, Truth dan Logic yang diterbitkan pada tahun 1946. Buku ini merupakan usaha sintesa Ayer atas pendirian positivisme logis lingkaran Wina dengan analisis linguistik Inggris.

 Problema Filsafat ; Ontologi


Ontologi. Objek yang menjadi kajian dalam ontologi tersebut adalah realitas yang ada. Dan dalam ontologi adalah studi tentang yang ada yang universal, dengan mencari pemikiran semesta universal. Ontologi berusaha mencari inti yang termuat dalam setiap keyataan atau menjelaskan yang ada dalam setiap bentuknya.dalam ontologi merupakan studi yang terdalam dari setiap hakekat kenyataan, seperti dapatkah manusia sunguh-sungguh memilih, apakah ada Tuhan, apakah nyata dalam hakekat material ataukah spiritual, apakah jiwa sungguh dapat dibedakan dengan badan atau secara singkat dikatakan bahwa ontology  filsafat membicarakan hakikat, obyek, dan struktur filsafat.

Studi tentang yang ada, pada dataran studi filsafat pada umumnya dilakukan oleh filsafat metaphisika. Istilah ontologi banyak digunakan ketika kita membahas yang ada dlaam konteks filsafat ilmu. Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan, atau dalam rumusan Lorens Bagus; menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.

1.      Objek Formal dan Pendekatan
Objek formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas. Bagi pendekatan kuantitatif, realitas tampil dalam kuantitas atau jumlah, tealaahnya akan menjadi  telaah (a) monisme ; yang menyatakan bahwa asal muasal alam semesta ini terdiri atas satu unsure. (b) Dualisme ; yang menyatakan bahwa asal alam semesta terdiri dari dua unsure yaitu materi dan non materi/ ruh. (c) Pluralisme ; menyatakan bahwa alam semesta berasal dari empat unsure, yaitu air, api, angin dan tanah.

Bagi pendekatan kualitatif realitas akan tampil menjadi aliran-aliran materialisme, idealisme, naturalisme, atau hylomorphisme. Yang didukung oleh empat teori dasar, yaitu (a) Mekanisme, yang mengatakan bahwa segala sesuatu berproses secara mekanik, (b) Teleologi, yang menyatakan bahwa seluruh kejadian alam raya berproses menuju suatu tujuan, yaitu Tuhan, (c) Determinisme, yang enyatakan bahwa segala kejadian yang terjadi di ala mini berproses melalui suatu ketentuan yang telah ditetapkan sebelumnya, baik leh hukum alam maupun oleh Tuhan. (d) Indeterminisme, yang menyatakan bahwa segala kejadian yang terjadi di ala mini berlangsung secara bebas, tanpa kendali tertentu dari Tuhan atau kekuatan lainnya.


2.      Metode dalam Ontologi
Lorens Bagus memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi, yaitu : abstraksi fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi metaphisik. Abstraksi fisik menampilkan keseluruhan sifat khas sesuatu objek; sedangkan abstraksi bentuk mendeskripsikan sifat umum yang menjadi cirri semua sesuatu yang sejenis. Abstraksi metaphisik mengetangahkan prinsip umum yang menjadi dasar dari semua realitas. Abstraksi yang dijangkau oleh ontologi adalah abstraksi metaphisik.

Sedangkan metode pembuktian dalam ontologi oleh Laurens Bagus di bedakan menjadi dua, yaitu : pembuktian a priori dan pembuktian a posteriori. Pembuktian a priori disusun dengan meletakkan term tengah berada lebih dahulu dari predikat; dan pada kesimpulan term tengah menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan.
Contoh :      Sesuatu yang bersifat lahirah itu fana      (Tt-P)
            Badan itu sesuatu yang lahiri                 (S-Tt)
            Jadi, badan itu fana’                               (S-P)

Sedangkan pembuktian a posteriori secara ontologi, term tengah ada sesudah realitas kesimpulan; dan term tengah menunjukkan akibat realitas yang dinyatakan dalam kesimpulan hanya saja cara pembuktian a posterioris disusun dengan tata silogistik sebagai berikut:
Contoh :      Gigi geligi itu gigi geligi rahang dinasaurus          (Tt-S)
            Gigi geligi itu gigi geligi pemakan tumbuhan         (Tt-P)
            Jadi, Dinausaurus itu pemakan tumbuhan             (S-P)

Keterangan :
Tt   : Term tengah
P    : Predikat
S    : Subjek

Bandingkan tata silogistik pembuktian a priori dengan a posteriori. Yang apriori di berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan predikat dan term tengahj menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan; sedangkan yang a posteriori di berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan subjek, term tengah menjadi akibat dari realitas dalam kesimpulan.

Secara umum a priori dikenal sebagai cara berfikir dan cara pembuktan deduktif, sedang empiric sebagai konsekuensi. Sedangkan a posteriori dikenal sebagai cara berfikir dan cara membuat kesimpulan yang mendasarkan pada empiric, tapi dari tata silogistik pembuktian a posteriori tidak identik dengan pembuktian induktif.


Epistemologi

KONSEP DASAR
Cabang ilmu filsafat yang secara khusus menggeluti pertanyaan-pertanyaan yang bersifat menyeluruh dan mendasar tentang pengetahuan disebut Epistemologi. Istilah “epistemologis” sendiri berasal dari kata Yunani episteme=pengetahuan dan logis=perkataan, pikiran, ilmu. Kata”episteme” dalam bahasa Yunani berasal dari kata kerja epistamai, artinya mendudukan, menempatkan, atau meletakkan. Maka, harfiah episteme bearti pengetahuan sebaya upaya intelektual untuk “menempatkan sesuatu dalam kedudukan seteptnya.” Selain kata “episteme”, untuk kata “pengetahuan” dalam bahasa Yunani juga dipakai kata “gnosis”, maka istilah epistemologi’ dalam sejarah pernah juga dipakai kata”gnosis”, maka istilah “epistemology” dalam sejarah pernah juga disebut “gnoseologi”. Sebagai kajian kritis filosofis yang membuat telaah kritis dan analitis tentang dasar-dasar teoritis pengetahuan, epistemology kadang juga disebut teori pengetahuan [theory of knowledge; erkentnistheorie]

Epistemologi adalah pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan. Ia merupakan cabang filsafat yang membahas tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, sarana, metode atau cara memperoleh pengetahuan, validitas dan kebenaran pengetahuan (ilmiah). Perbedaan landasan ontologik menyebabkan perbedaan dalam menentukan metode yang dipilih dalam upaya memperoleh pengetahuan yang benar. Akal, pengalaman, atau kombinasi akal dan pengalaman, intuisi, merupakan sarana mencari pengetahuan yang dimaksud dalam epistemologik, sehingga dikenal model-model epistemologik seperti rasionalisme, empirisme, positivisme dan sebagainya.

Epistemologi juga membahas bagaimana menilai kelebihan dan kelemahan suatu model epistemologik beserta tolok ukurnya bagi pengetahuan (ilmiah), seperti teori ko­herensi, korespondesi pragmatis, dan teori intersubjektif. Pengetahuan merupakan daerah persinggungan antara benar dan dipercaya. Pengetahuan bisa diperoleh dari akal sehat yaitu melalui pengalaman secara tidak sengaja yang bersifat sporadis dan kebetulan sehingga cenderung bersifat kebiasaan dan pengulangan, cenderung bersifat kabur dan samar dan karenanya merupakan pengetahuan yang tidak teruji. Ilmu pengetahuan (sains) diperoleh berdasarkan analisis dengan langkah-langkah yang sistematis (metode ilmiah) menggunakan nalar yang logis. Sarana berpikir ilmiah adalah bahasa, matematika dan statistika. Metode ilmiah mengga-bungkan cara berpikir deduktif dan induktif sehingga menjadi jembatan penghu-bung antara penjelasan teoritis dengan pembuktian yang dilakukan secara empiris. Secara rasional, ilmu menyusun pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif, sedangkan secara empiris ilmu memisahkan pengetahuan yang sesuai dengan fakta dari yang tidak.

MAKSUD KAJIAN
Epistemologi bermaksud mengkaji dan mencoba menemukan ciri-ciri umum dan hakiki dari pengetahuan manusia. Bagaimana pengetahuan itu pada dasarnya diperoleh dan diuji kebenarnnya?Manakah ruang lingkup atau batas-batas kemampuan manusia untuk mengetahui ?

Epistemologi juga bermaksud mengkaji pengandaian-pengandaian dan syarat-syarat logis yang mendasari dimungkinkannya pengetahuan itu. Epistemologi juga mencoba memberi pertanggungjawaban rasional terhadap klaim kebenaran dan obyektivitasnya.
Dari maksud itu, maka Epistemologi dapat dinyatakan suatu disiplin ilmu yang bersifat evaluatif, normative, dan kritis. Evaluatif berarti bersifat menilai. Epsitemologi menilai apakah keyakinan, sikap, pernyataan pendapat, teori pengatahuan dapat dibenarkan, diajamin kebenarannya, atau memiliki dasar yang dapat dipertanggungjawabkan secara nalar.

DASAR PIJAK MEMPELAJARI EPISTEMOLOGI
Sekurang-kurangnya ada tiga alasan yang dapat dikemukakan mengapa epistemology perlu dipelajari.
1.       Berangkat dari pertimbangan strategis
Pengetahuan adalah kekuasaan [Knoledge is power. Pengetahuan mempunyai daya kekuatan untuk mengubah keadaan. “Apabila pengetahuan adalah suatu kekuatan yang telah dan akan terus membentuk kebudayaan, menggerakan dan mengubah dunia, sudah semestinyalah apabila kita berusaha memahami apa itu pengethauan, apa sifat dan hakikatnya , apa daya dan ketebatasnnya, apa kemungkinan permasalahannya.

2.       Pertimbangan kebudayaan
Mempelajari epistemology diperlukan pertama-tama untuk mengungkap pandangan epistemologis yang sesungguhnya ada dan terkandung dalam setiap kebudayaan. Setiap kebudayaan, entah secara implicit ataupun ekplisit, entah hanya lisan atau tulisan , entah secara sistematis ataupun tidak, selalu memuat pandangan tentang pengetahuan.

3.       Pertimbangan pendidikan.
Berdasarkan pertimbangan pendidikan epistemology perlu dipelajarai karena manfaatnya untuk bidang pendidikan. Pendidikan sebagai usaha sadar untuk membantu peserta didik mengembangkan pandangan hidup, sikap hidup dan ketrampilan hidup, tidak dapat lepas dari penguasaan pengetahuan. Proses Belajar Mengajar dalam konteks pendidikan selalau memuat unsure penyampaian pengetahuan, ketrampilan, dan nilai-nilai.

TITIK DASAR EPISTEMOLOGI
  1. Subjek Pengenal (manusia)
Melalui kemampuan yang dimiiliki, manusia menjadi actor utama pengembangan ilu pengetahuan. Kemampuan dimaksud adalah kemampuan sensibilitas yang berusaha menemukan kebenaran secara indrawi, dan kemampuan intelegensi yang berusaha menemukan kebenaran intelegensi yang didukung dengan penggunaan metode ilmiah

  1. Objek yang dikenal (realitas)
Merupakan sasaran utama yang akan dikaji dan dikembangkan oleh subjek pengenal dalam kerangka menghasilkan kebenaran (pengetahuan ilmiah dan alamiah). Terkait dengan realitas yang menjadi sasaran pengetahuan ini, maka ada dua jenis objek, yaitu,
Pertama,  jenis sasaran pengetahuan yang dilihat dari arah Obyek [yang diamati]:
(a) Objek material, ialah sesuatu yang diamati secara menyeluruh [integral].
(b) Objek forma, ialah bagian tertentu yang diamati dari sesuatu [parsial].

Kedua, Jenis sasaran pengetahuan, dilihat dari subyek (yang mengamati) :
(a) Objek empiris [obyek rasa], yaitu sasaran yang pada dasrnya ada dan dapat ditangkap oleh indera lahir [pancaindra]
(b) Objek ideal [objek bukan rasa], yaitu sasaran yang pada dasarnya tiada dan menjadi ada berkat kegiatan sukma atau akal
(c) Objek transenden [objek luar rasa], yaitu sasaran yang pada dasarnya ada, tetapi berada di luar jangkauan pikiran dan perasaan manusia

SUMBER PENGETAHUAN

1. Indera

Indera digunakan untuk berhubungan dengan dunia fisik atau lingkungan di sekitar kita. Indera ada bermacam-macam; yang paling pokok ada lima (panca indera), yakni indera penglihatan (mata) yang memungkinkan kita mengetahui warna, bentuk, dan ukuran suatu benda; indera pendengaran (telinga) yang membuat kita membedakan macam-macam suara; indera penciuman (hidung) untuk membedakan bermacam bau-bauan; indera perasa (lidah) yang membuat kita bisa membedakan makanan enak dan tidak enak; dan indera peraba (kulit) yang memungkinkan kita mengetahui suhu lingkungan dan kontur suatu benda.

Pengetahuan lewat indera disebut juga pengalaman, sifatnya empiris dan terukur. Kecenderungan yang berlebih kepada alat indera sebagai sumber pengetahuan yang utama, atau bahkan satu-satunya sumber pengetahuan, menghasilkan aliran yang disebut empirisisme, dengan pelopornya John Locke (1632-1714) dan David Hume dari Inggris. Mengenai kesahihan pengetahuan jenis ini, seorang empirisis sejati akan mengatakan indera adalah satu-satunya sumber pengetahuan yang dapat dipercaya, dan pengetahuan inderawi adalah satu-satunya pengetahuan yang benar.

Tetapi mengandalkan pengetahuan semata-mata kepada indera jelas tidak mencukupi. Dalam banyak kasus, penangkapan indera seringkali tidak sesuai dengan yang sebenarnya. Misalnya pensil yang dimasukkan ke dalam air terlihat bengkok, padahal sebelumnya lurus. Benda yang jauh terlihat lebih kecil, padahal ukuran sebenarnya lebih besar. Bunyi yang terlalu lemah atau terlalu keras tidak bisa kita dengar. Belum lagi kalau alat indera kita bermasalah, sedang sakit atau sudah rusak, maka kian sulitlah kita mengandalkan indera untuk mendapatkan pengetahuan yang benar.

 

Akal

Akal atau rasio merupakan fungsi dari organ yang secara fisik bertempat di dalam kepala, yakni otak. Akal mampu menambal kekurangan yang ada pada indera. Akallah yang bisa memastikan bahwa pensil dalam air itu tetap lurus, dan bentuk bulan tetap bulat walaupun tampaknya sabit. Keunggulan akal yang paling utama adalah kemampuannya menangkap esensi atau hakikat dari sesuatu, tanpa terikat pada fakta-fakta khusus. Akal bisa mengetahui hakekat umum dari kucing, tanpa harus mengaitkannya dengan kucing tertentu yang ada di rumah tetangganya, kucing hitam, kucing garong, atau kucing-kucingan.

Akal mengetahui sesuatu tidak secara langsung, melainkan lewat kategori-kategori atau ide yang inheren dalam akal dan diyakini bersifat bawaan. Ketika kita memikirkan sesuatu, penangkapan akal atas sesuatu itu selalu sudah dibingkai oleh kategori. Kategori-kategori itu antara lain substansi, kuantitas, kualitas, relasi, waktu, tempat, dan keadaan.

Pengetahuan yang diperoleh dengan akal bersifat rasional, logis, atau masuk akal. Pengutamaan akal di atas sumber-sumber pengetahuan lainnya, atau keyakinan bahwa akal adalah satu-satunya sumber pengetahuan yang benar, disebut aliran rasionalisme, dengan pelopornya Rene Descartes (1596-1650) dari Prancis. Seorang rasionalis umumnya mencela pengetahuan yang diperoleh lewat indera sebagai semu, palsu, dan menipu.

 

Hati atau Intuisi

Organ fisik yang berkaitan dengan fungsi hati atau intuisi tidak diketahui dengan pasti; ada yang menyebut jantung, ada juga yang menyebut otak bagian kanan. Pada praktiknya, intuisi muncul berupa pengetahuan yang tiba-tiba saja hadir dalam kesadaran, tanpa melalui proses penalaran yang jelas, non-analitis, dan tidak selalu logis. Intuisi bisa muncul kapan saja tanpa kita rencanakan, baik saat santai maupun tegang, ketika diam maupun bergerak. Kadang ia datang saat kita tengah jalan-jalan di trotoar, saat kita sedang mandi, bangun tidur, saat main catur, atau saat kita menikmati pemandangan alam.

Intuisi disebut juga ilham atau inspirasi. Meskipun pengetahuan intuisi hadir begitu saja secara tiba-tiba, namun tampaknya ia tidak jatuh ke sembarang orang, melainkan hanya kepada orang yang sebelumnya sudah berpikir keras mengenai suatu masalah. Ketika seseorang sudah memaksimalkan daya pikirnya dan mengalami kemacetan, lalu ia mengistirahatkan pikirannya dengan tidur atau bersantai, pada saat itulah intuisi berkemungkinan muncul. Oleh karena itu intuisi sering disebut supra-rasional atau suatu kemampuan yang berada di atas rasio, dan hanya berfungsi jika rasio sudah digunakan secara maksimal namun menemui jalan buntu.

Hati bekerja pada wilayah yang tidak bisa dijangkau oleh akal, yakni pengalaman emosional dan spiritual. Kelemahan akal ialah terpagari oleh kategori-kategori sehingga hal ini, menurut Immanuel Kant (1724-1804), membuat akal tidak pernah bisa sampai pada pengetahuan langsung tentang sesuatu sebagaimana adanya (das ding an sich) atau noumena. Akal hanya bisa menangkap yang tampak dari benda itu (fenoumena), sementara hati bisa mengalami sesuatu secara langsung tanpa terhalang oleh apapun, tanpa ada jarak antara subjek dan objek.

Kecenderungan akal untuk selalu melakukan generalisasi (meng-umumkan) dan spatialisasi (meruang-ruangkan) membuatnya tidak akan mengerti keunikan-keunikan dari kejadian sehari-hari. Hati dapat memahami pengalaman-pengalaman khusus, misalnya pengalaman eksistensial, yakni pengalaman riil manusia seperti yang dirasakan langsung, bukan lewat konsepsi akal. Akal tidak bisa mengetahui rasa cinta, hatilah yang merasakannya. Bagi akal, satu jam di rutan salemba dan satu jam di pantai carita adalah sama, tapi bagi orang yang mengalaminya bisa sangat berbeda. Hati juga bisa merasakan pengalaman religius, berhubungan dengan Tuhan atau makhluk-makhluk gaib lainnya, dan juga pengalaman menyatu dengan alam.

Pengutamaan hati sebagai sumber pengetahuan yang paling bisa dipercaya dibanding sumber lainnya disebut intuisionisme. Mayoritas filosof Muslim memercayai kelebihan hati atas akal. Puncaknya adalah Suhrawardi al-Maqtul (1153-1192) yang mengembangkan mazhab isyraqi (iluminasionisme), dan diteruskan oleh Mulla Shadra (w.1631). Di Barat, intuisionisme dikembangkan oleh Henry Bergson.

Selain itu, ada sumber pengetahuan lain yang disebut wahyu. Wahyu adalah pemberitahuan langsung dari Tuhan kepada manusia dan mewujudkan dirinya dalam kitab suci agama. Namun sebagian pemikir Muslim ada yang menyamakan wahyu dengan intuisi, dalam pengertian wahyu sebagai jenis intuisi pada tingkat yang paling tinggi, dan hanya nabi yang bisa memerolehnya.

Dalam tradisi filsafat Barat, pertentangan keras terjadi antara aliran empirisisme dan rasionalisme. Hingga awal abad ke-20, empirisisme masih memegang kendali dengan kuatnya kecenderungan positivisme di kalangan ilmuwan Barat. Sedangkan dalam tradisi filsafat Islam, pertentangan kuat terjadi antara aliran rasionalisme dan intuisionisme (iluminasionisme, ‘irfani), dengan kemenangan pada aliran yang kedua. Dalam kisah perjalanan Nabi Khidir a.s. dan Musa a.s., penerimaan Musa atas tindakan-tindakan Khidir yang mulanya ia pertanyakan dianggap sebagai kemenangan intuisionisme. Penilaian positif umumnya para filosof Muslim atas intuisi ini kemungkinan besar dimaksudkan untuk memberikan status ontologis yang kuat pada wahyu, sebagai sumber pengetahuan yang lebih sahih daripada rasio.

Aksiologi

KONSEP DASAR AKSIOLOGI
Istilah Aksiologi berasal dari bahasa Yunani, terdiri atas kata axia yang artinya nilai dan logia yang artinya ilmu. Jika diartikan, aksiologi merupakan studi tentang nilai atau filsafat nilai. Karena di dalamnya membongkar sesuatu tentang nilai. Meski pun filsafat nilai sudah dibicarakan sejak zaman Yunani Kuno, istilah aksiologi itu sendiri merupakan istilah baru yang diperkenalkan oleh Paul Lapie and E. Von Hartmann pada abad ke-20. Jujun S Suriasmantri memaknai aksiologi sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengatahuan yang diperoleh. Menurut Bramel,aksiologi terbagi dalam tiga bagian. (1) ,moral conduct,yaitu tindakan moral,bidang ini melahirkan disiplin khusus,yakni etika. (2) ,esthetic expression,yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan. (3) ,sosiopolotical life,yaitu kehidupan social politik,yang akan melahirkan filsafat social politik

Aksiologi secara mendalam membedakan antara ada (being [keberadaan]) dengan nilai (value). Hal ini dibedakan karena nilai tidak akan ada tanpa ada yang mengemban. Kalau dirumuskan Ada = Sesuatu + Nilai. Oleh karena itu sifat Nilai selalu tergantung pada pengembannya yaitu Sesuatu. Hal ini berarti nilai bersifat parasitis. Sementara itu Cabang filsafat yang termasuk dalam axiologi adalah etika dan estetika.
1. Etika
Etika adalah cabang filsafat yang mengkaji nilai apa yang berkaitan dengan kebaikan dan apakah itu perilaku baik. Cabang ini meliputi apa dan bagaimana hidup yang baik, menjadi orang yang baik, berbuat baik, dan menginginkan hal-hal yang baik dalam hidup.Kata etika menunjuk dua hal. Pertama: disiplin ilmu yang mempelajari nilai-nilai dan pembenarannya. Kedua: pokok permasalahan disiplin ilmu itu sendiri yaitu nilai-nilai hidup manusia yang sesungguhnya dan hukum-hukum tingkah laku manusia (Solomon, 1987). Dalam etika kita juga mempelajari moralitas dan alasan-alasan yang lebih abstrak mengapa manusia berbuat dan tidak berbuat sesuatu.. Etika bukanlah sekedar kumpulan perintah dan larangan (‘harus’ dan ‘jangan’) tetapi merupakan satu sistem nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang terpadu secara teratur untuk mencapai masyarakat yang berbudaya dan hidup bahagia.

2. Estetika
Estetika mengkaji pengalaman dan penghayatan manusia dalam menanggapi apakah sesuatu itu indah atau tidak. Jadi estetika membahas soal-soal keindahan yang dipersepsi oleh manusia.

HAKIKAT NILAI (LETAK NILAI DAN PENGEMBAN NILAI)
Lalu apa hakikat nilai? Pertanyaan ini belum bisa dijawab sebelum istilah hakikat itu sendiri belum dipahami. Tidak akan dijelaskan secara panjang lebar tentang apa itu hakikat, tetapi secara singkat. Hakikat adalah unsur yang harus/wajib ada untuk adanya Sesuatu. Sulit dipahami jika tidak diberi contoh. Misalnya, apa yang membuat kita tahu bahwa benda itu adalah buku tulis? Yang paling utama adalah adanya kertas, yang kedua yaitu kertas yang terjilid dengan rapi. Nah kertas itu yang merupakan unsur utama dari sebuah buku.
Jika diaplikasikan terhadap nilai. Apa itu hakikat nilai? Berarti unsur yang harus ada sebagai syarat adanya nilai. Dari sini dapat diketahui bahwa ada unsur yang membuat nilai itu ada. Contoh, gitar itu jelek! Apakah kita tau nilai dari gitar itu? Sudah pasti, karena sudah disebutkan, yaitu jelek. Di situlah letak nilai. Nilai di sini memiliki arti netral, nilai tidak memihak, tapi mengidentifikasikan ini loh nilainya. Gitar itu bagus, jelek, atau sedang-sedang saja tetap memiliki nilai. Oleh karena itu diadakan pembedaan, antara letak kedudukan nilai dan pengemban nilai.
Gitar jelek. Di mana nilainya? Jelas “jelek” nilainya. Di mana pengembannya? Jelas “gitar” pengembannya. Dari sini dapat diketahui bahwa nilai selalu bersifat abstrak: jelek, indah, samar, penyayang, tidak dapat disentuh, hanya dapat diketahui di sinilah letak kedudukan nilai. Sedangkan pengemban nilai tidak selalu bersifat material tetapi juga immaterial dan selalu sifatnya objektif. Contohnya yang material: gitar, batu, cicak, motor, sampah; dan yang immaterial: Tuhan, panorama, malaikat, langit, angin.

NILAI DAN PENILAIAN
Nilai juga bersifat tetap. Jelek, indah, penyayang itu tidak berubah. Yang berubah adalah penilaian oleh manusia. Oleh karena itu tidak tepat dikatakan bahwa ada pergeseran nilai karena nilai tidak pernah bergeser. Yang bergeser adalah persepsi atau penilaian manusia. Vincent Van Gogh adalah seorang pelukis yang dilahirkan di Zundert, sebuah kota di Belanda selatan pada tanggal 30 Maret 1853. Ia mati bunuh diri pada tanggal 28 Juli 1890. Kemiskinan dan karya seninya yang tidak diapresiasi merupakan penyebab kematiannya. Pada saat itu lukisan Van Gogh tidak memiliki arti apa pun di masyarakat, tetapi seratus tahun kemudian karyanya diagungkan.
Ini hanya sebuah contoh bahwa lukisan Van Gogh memiliki nilai, apa pun nilai itu, tidak pernah berubah. Ini menjadikan alasan bahwa penilaian manusialah yang berubah, pada masa lalu lukisan Van Gogh bukan apa-apa, tapi sekarang lukisannya menjadi Masterpiece di mata masyarakat dunia, khususnya Belanda dan Perancis. Oleh karena itu apa pun kapan pun penilaian dilakukan oleh manusia, tetap saja nilai sudah ada terlebih dahulu
Wilayah filsafat nilai terletak pada akal yang bisa membedakan (benar-salah), karsa (baik-buruk), dan rasa (indah-jelek).

HIERARKI KUALITAS NILAI
Frondizi memberikan pemilahan terhadap kualitas sesuatu, yaitu:
  1. Kualitas primer: Suatu hal utama yang membuat kenyataan sesuatu dan sifatnya harus (misalnya: bentuk, wujud, panjang, berat, tinggi [bisa diindera/material], akal [tidak bisa diindera/immaterial])
  2. Kualitas sekunder: Sesuatu yang menyertai kenyataan sesuatu (misalnya: warna, rasa, dan bau)
  3. Kualitas tersier: Sesuatu yang tidak dapat ditangkap oleh indera (misalnya: kharisma, rasa takut, bingung, keanggunan)
Ketiga kualitas ini bersatu menjadi sesuatu yang disebut sebagai Kualitas Gestalt. Dengan penyatuan tiga kualitas tadi, sesuatu bisa dibedakan, misalnya: mana orang yang baik hati, mana gitar yang suaranya merdu, mana kasur yang enak ditiduri, dan sebagainya. Kualitas Gestalt inilah yang menjadi ciri khas setiap objek. Contoh yang lebih konkrit lagi. Apa yang merupakan Kualitas Gestalt dari manusia? Pertama-tama harus dipilah dulu kualitasnya
  • Kualitas primer: manusia memiliki akal, karsa, dan rasa
  • Kualitas sekunder: manusia memiliki bentuk, dan warna sehingga bisa diindera
  • Kualitas tersier: manusia memiliki kejujuran, loyalitas, dedikasi, keberanian, dan sebagainya

ALIRAN EKSTRIM FILSAFAT NILAI (OBJEKTIVISME DAN SUBJEKTIVISME)
Objektivisme: merupakan suatu paham yang beranggapan bahwa keberadaan nilai mendahului penilaian oleh karenanya validitas nilai tidak tergantung pada subjek yang menilai.
Dengan pengertian di atas, lalu bagaimana spesifikasi nilai menurut objektivisme?
  1. Nilai bersifat tetap, mutlak, dan tak terubahkan
  2. Nilai bukanlah penilaian, melainkan punya posisi sendiri secara objektif
Ada pun masalah yang dihadapi oleh objektivisme. Pertama, mengalami kesulitan ketika orang harus memilih satu dari dua atau lebih dari dua hal yang objektif contohnya: Anda punya satu penawar racun. Anda dan teman anda keracunan, anda akan bingung karena anda memiliki prinsip harus menolong dan bertahan hidup. Anda harus mengorbankan salah satunya, objektivisme tidak mengijinkan hal ini. Oleh sebab itu dalam hal yang darurat objektivisme mengalami kelemahan. Kedua, dengan nilai memiliki posisinya sendiri maka nilai dilepaskan dari pengembannya, padahal identifikasi membutuhkan pengemban. Ketiga, menghilangkan relasi subjek-objek jadi seolah-olah subjek tidak berguna di sini, pertanyaan “bagaimana saya bisa membedakan budi dan ani apabila tidak ada relasi antara subjek-objek?” dapat mewakili dari kelemahan yang ketiga ini.
Subjektivisme: merupakan suatu paham yang beranggapan bahwa keberadaan nilai tergantung pada kesadaran yang menilai oleh karenanya nilai sama dengan penilaian. Sesuatu itu bernilai karena ada subjek yang menilai.
Dengan pengertian di atas, lalu bagaimana spesifikasi nilai menurut subjektivisme?
  1. Nilai bersifat relatif
  2. Bersifat relatif dikarenakan nilai adalah penilaian, penilaian itu dilakukan oleh setiap orang dan setiap orang memiliki penilaian yang berbeda
Masalah yang dihadapi subjektivisme juga tidak kalah menarinya dengan masalah objektivisme. Pertama, dikarenakan nilai bersifat relatif maka tidak ada pedoman universal yang harus dijunjung, tidak ada peraturan toh semuanya relatif, oleh karena hal ini maka subjektivisme bisa mengacaukan segala sesuatu. Kedua, subjektivisme bersikap netral terhadap pertanyaan seperti ini “apakah saya harus menolong orang lain?” dan “apakah saya harus menghormati orang tua?” Menurut subjektivisme, bisa dijawab “iya” mau pun “tidak” karena berdasar atas penilaian subjek saja. Misalnya subjek adalah seorang yang sudah mapan, dia bisa saja berkata “mengapa saya harus menghormati orang tua? Padahal saya yang membiayai mereka saat ini!”

 KONTEKS FILSAFAT YUNANI

Para sarjana filsafat mengatakan bahwa mempelajari filsafat Yunani berarti menyaksikan kelahiran filsafat. Karena itu tidak ada pengantar filsafat yang lebih ideal dari pada study perkembangan pemikiran filsafat di negeri Yunani. Alfred Whitehead mengatakan tentang Plato: "All Western phylosophy is but a series of footnotes to Plato". Pada Plato dan filsafat Yunani umumnya dijumpai problem filsafat yang masih dipersoalkan sampai hari ini. Tema-tema filsafat Yunani seperti ada, menjadi, substansi, ruang, waktu, kebenaran, jiwa, pengenalan, Allah dan dunia merupakan tema-tema bagi filsafat seluruhnya. Namun, jika ditelaah lebih dalam, maka kajian filsafat di Yunani terfokus pada 3 fokus, yaitu :
1.       Cosmocentris
Membicarakan segala sesuatu yang menyangkut alam. Permasalahan yang dibicarakan pada mulanya menyangkut asal (ache) alam semesta. Namun dalam perkembangan selanjutnya mengadakan kajian ruang (space), waktu (time), gerak (motion), Jarak bintang (magnitude), gaya (force), materi / perubahan (change), interaksi (interaction), bilangan (number). Kualitas (quality), kuantitas (quantity) dan kausalitas (causality). Filosof yang mengkaji persoalan ini adalah (a) Thales. (b) anaximandros, (c) anaximenes, (d) Democritos, (e) Pythagoras, (f) Heraklitos, (g)Empedokles
2.       Theocentris
Membicarakan tentang Tuhan. Kajiannya mencakup argumentasi keberadaan Tuhan, karakter Tuhan, kekuasaan Tuhan, peran Tuhan dalam kehidupan manusia. Kajian terhadap keberadaan agama, untuk apa manusia beragama dan seterusnya. Filosofo yang mengkaji persoalan ini adalah (a) Xenoplanes, (b) Sokrates, (c) Plato, (d) Aristoteles,
3.       Antropocentris
Membicarakan manusia, asal usul manusia, unsure, kedudukannya sebagai subyek maupun objek.Filosof yang mengkaji persoalan ini adalah (a) Protagoras, (b) Gorgias, (c) Sokrates, (d) Plato, (e) Aristoteles, (f) Epicurus, (g) Zeno, (h)


Filsuf- Filsuf Pertama
Ada tiga filsuf dari kota Miletos yaitu Thales, Anaximandros dan Anaximenes. Ketiganya secara khusus menaruh perhatian pada alam dan kejadian-kejadian alamiah, terutama tertarik pada adanya perubahan yang terus menerus di alam. Mereka mencari suatu asas atau prinsip yang tetap tinggal sama di belakang perubahan-perubahan yang tak henti-hentinya itu. Thales mengatakan bahwa prinsip itu adalah air, Anaximandros berpendapat to apeiron atau yang tak terbatas sedangkan Anaximenes menunjuk udara.

Thales juga berpendapat bahwa bumi terletak di atas air. Tentang bumi, Anaximandros mengatakan bahwa bumi persis berada di pusat jagat raya dengan jarak yang sama terhadap semua badan yang lain. Sedangkan mengenai kehidupan bahwa semua makhluk hidup berasal dari air dan bentuk hidup yang pertama adalah ikan. Dan manusia pertama tumbuh dalam perut ikan. Sementara Anaximenes dapat dikatakan sebagai pemikir pertama yang mengemukakan persamaan antara tubuh manusia dan jagat raya. Udara di alam semesta ibarat jiwa yang dipupuk dengan pernapasan di dalam tubuh manusia.

Filosof berikutnya yang perlu diperkenalkan adalah Pythagoras. Ajaran-ajarannya yang pokok adalah pertama dikatakan bahwa jiwa tidak dapat mati. Sesudah kematian manusia, jiwa pindah ke dalam hewan, dan setelah hewan itu mati jiwa itu pindah lagi dan seterusnya. Tetapi dengan mensucikan dirinya, jiwa dapat selamat dari reinkarnasi itu. Kedua dari penemuannya terhadap interval-interval utama dari tangga nada yang diekspresikan dengan perbandingan dengan bilangan-bilangan, Pythagoras menyatakan bahwa suatu gejala fisis dikusai oleh hukum matematis. Bahkan katanya segala-galanya adalah bilangan. Ketiga mengenai kosmos, Pythagoras menyatakan untuk pertama kalinya, bahwa jagat raya bukanlah bumi melainkan Hestia (Api), sebagaimana perapian merupakan pusat dari sebuah rumah.

Pada jaman Pythagoras ada Herakleitos Di kota Ephesos dan menyatakan bahwa api sebagai dasar segala sesuatu. Api adalah lambang perubahan, karena api menyebabkan kayu atau bahan apa saja berubah menjadi abu sementara apinya sendiri tetap menjadi api. Herakleitos juga berpandangan bahwa di dalam dunia alamiah tidak sesuatupun yang tetap. Segala sesuatu yang ada sedang menjadi. Pernyataannya yang masyhur "Pantarhei kai uden menei" yang artinya semuanya mengalir dan tidak ada sesuatupun yang tinggal tetap. Filosof pertama yang disebut sebagai peletak dasar metafisika adalah Parmenides. Parmenides berpendapat bahwa yang ada ada, yang tidak ada tidak ada. Konsekuensi dari pernyataan ini adalah yang ada 1) satu dan tidak terbagi, 2) kekal, tidak mungkin ada perubahan, 3) sempurna, tidak bisa ditambah atau diambil darinya, 4) mengisi segala tempat, akibatnya tidak mungkin ada gerak sebagaimana klaim Herakleitos.

Para filsuf tersebut dikenal sebagai filsuf monisme yaitu pendirian bahwa realitas seluruhnya bersifat satu karena terdiri dari satu unsur saja. Para Filsuf berikut ini dikenal sebagai filsuf pluralis, karena pandangannya yang menyatakan bahwa realitas terdiri dari banyak unsur. Empedokles menyatakan bahwa realitas terdiri dari empat rizomata (akar) yaitu api, udara, tanah dan air. Perubahan-perubahan yang terjadi di alam dikendalikan oleh dua prinsip yaitu cinta (Philotes) dan benci (Neikos). Empedokles juga menerangkan bahwa pengenalan (manusia) berdasarkan prinsip yang sama mengenal yang sama. Pruralis yang berikutnya adalah Anaxagoras, yang mengatakan bahwa realitas adalah terdiri dari sejumlah tak terhingga spermata (benih). Berbeda dari Empedokles yang mengatakan bahwa setiap unsur hanya memiliki kualitasnya sendiri seperti api adalah panas dan air adalah basah, Anaxagoras mengatakan bahwa segalanya terdapat dalam segalanya. Karena itu rambut dan kuku bisa tumbuh dari daging.

Perubahan yang membuat benih-benih menjadi kosmos hanya berupa satu prinsip yaitu Nus yang berarti roh atau rasio. Nus tidak tercampur dalam benih-benih dan Nus mengenal serta mengusai segala sesuatu. Karena itu, Anaxagoras dikatakan sebagai filsuf pertama yang membedakan antara "yang ruhani" dan "yang jasmani". Pluralis Leukippos dan Demokritos juga disebut sebagai filsuf atomis. Atomisme mengatakan bahwa realitas terdiri dari banyak unsur yang tak dapat dibagi-bagi lagi, karenanya unsur-unsur terakhir ini disebut atomos. Lebih lanjut dikatakan bahwa atom-atom dibedakan melalui tiga cara: (seperti A dan N), urutannya (seperti AN dan NA) dan posisinya (seperti N dan Z). Jumlah atom tidak berhingga dan tidak mempunyai kualitas, sebagaimana pandangan Parmenides atom-atom tidak dijadikan dan kekal.

Tetapi Leukippos dan Demokritos menerima ruang kosong sehingga memungkinkan adanya gerak. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa realitas seluruhnya terdiri dari dua hal: yang penuh yaitu atom-atom dan yang kosong. Menurut Demokritos jiwa juga terdiri dari atom-atom. Menurutnya proses pengenalan manusia tidak lain sebagai interaksi antar atom. Setiap benda mengeluarkan eidola (gambaran-gambaran kecil yang terdiri dari atom-atom dan berbentuk sama seperti benda itu). Eidola ini masuk ke dalam panca indra dan disalurkan kedalam jiwa yang juga terdiri dari atom-atom eidola. Kualitas-kualitas yang manis, panas, dingin dan sebagainya, semua hanya berkuantitatif belaka. Atom jiwa bersentuhan dengan atom licin menyebabkan rasa manis, persentuhan dengan atom kesat menimbulkan rasa pahit sedangkan sentuhan dengan atom berkecepatan tinggi menyebabkan rasa panas, dan seterusnya.


0 komentar:

Posting Komentar